Twenty Six

85.2K 3.3K 99
                                        

Vote and komennya jangan lupa ❤️

Happy reading...

"Masalah dimana gue lah yang berperan sebagai orang bodohnya." Ucap Luna datar.

Tasya menaikkan sebelah alisnya, tidak paham apa yang di maksud Luna. Sedangkan Rava sudah diam saja, tak mau membuka suara.

"Maksudnya gimana sih? Gue gak ngerti,"

Luna menarik nafasnya dalam, "Yaudah lah gue juga males bahasanya, terlalu menyakitkan."

Kini Tasya beralih menatap Rava, tapi cowok itu diam saja seolah membisu tak mau buka suara. Sampai pada akhirnya Toni datang.

"Eh ada kamu Rav," sapa Toni.

"Iya om."

"Ini sudah malam, kalian berdua gak pulang?" Toni berkata seperti itu bukan maksud untuk mengusir, melainkan ia paham bagaimana kondisi Luna sekarang gadis itu butuh waktu untuk menenangkan dirinya.

"Iya ini juga mau pulang kok om." Jawab Tasya.

"Cepet sembuh ya Lun, gue balik dulu. Besok kan libur, kita jalan mau?" Tanya Rava.

Luna menggeleng, "Nggak, gue mau istirahat aja."

"Oh yaudah. Om, saya sama Tasya pamit ya."

"Iya, makasih. Hati-hati ya,"

Tasya dan Rava menyalami tangan Toni, lalu keduanya pergi meninggalkan kamar Luna. Setelah mereka berdua pergi, Toni duduk di tepi kasur Luna. "Kamu jangan seperti ini Luna, apalagi sampai membenci, toh kejadiannya juga sudah berlalu. Yang kamu harus lakukan adalah, mengikhlaskan semuanya kita membuka lembaran baru."

Luna tersenyum tipis, "Aku nggak benci dengan Deva, Rava dan Tante Dian. Aku hanya marah dan kecewa, oke, kalau Deva aku bisa sedikit memaklumi mungkin alasan dia gak ngasih tahu aku karena dia gak mau aku punya alasan untuk meminta putus sama dia. Tapi kalau Rava dan tante Dian? Mereka berdua yang selalu ada untuk Luna ketika papa dan Deva menyakiti Luna, mareka gak mau kalau Luna selalu di sakiti, tapi mereka juga yang menyembunyikan alasannya, dan kalau mereka seperti itu sama saja mereka ikut dalam soal menyakiti Luna." Jelas Luna panjang.

"Papa mengerti, tapi mau sampai kapan kamu seperti ini?"

"Setidaknya sampai rasa kecewa itu memudar."

"Yaudah semua terserah kamu, yang jelas papa minta maaf selama ini telah bersikap tidak pantas sama kamu. Papa seperti itu karena papa gak mau kamu di sakiti oleh orang-orang yang pernah menyakiti papa." Ucap Toni sambil membelai rambut Luna.

Luna mengangguk lalu tersenyum. "Maafin Luna juga pa, selama ini Luna gak tahu kalau itu alasan papa yang sebenarnya."

"Yasudah kamu istirahat, papa masih ada kerjaan. Ingat jangan melakukan hal seperti tadi," pesan Toni sebelum pergi.

"Iya pa, selamat malam."

"Malam." Dan cup, ya Toni mengecup singkat kening Luna. Ada rasa hangat yang menjalar di hatinya. Setelah itu Toni meninggalkan kamar Luna.

Luna tersenyum senang, Toni yang selama ini ia rindukan telah kembali. Setidaknya dengan papa nya seperti ini Luna mempunyai semangat kembali, untuk menjalani hidupnya. Sekarang Luna percaya, bahwa papa nya akan kembali seperti dulu, ya, dulu sebelum perceraian itu terjadi. Terimakasih Tuhan telah mengembalikan papa yang Luna kenal, semoga selalu seperti ini. Lanjutnya dalam hati.

∆∆∆

Pagi ini Deva sudah di perbolehkan untuk pulang, dengan syarat tidak boleh kecapean, apalagi mengangkat beban berat. Dian tengah sibuk merapikan perlengkapan Deva selama di rumah sakit, sedangkan cowok itu masih menunggu sambil memainkan ponselnya.

HURT [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang