"Mau sarapan dulu sayang?" Tanya Dian, saat melihat Deva turun dari tangga sambil membawa dua koper besar.
Deva menggeleng, "Aku sarapan di pesawat aja."
"Kamu nanti mau mampir dulu ke makam Luna?" Tanya Dian hati-hati, takutnya kembali membuka luka anaknya.
Deva mengangguk.
"Yaudah, kamu hati-hati ya. Jaga kesehatan, jangan lupa makan, jangan sampai ke capean. Maaf, mama gak bisa nganter kamu ke bandara." Ucap Dian seraya memeluk putra semata wayangnya.
Deva membalas pelukannya dan tak lama pelukan itu terlepas, lalu Deva memberikan senyum tipis. "Deva berangkat, mama baik-baik di rumah."
"Iya, kamu juga baik-baik disana. Kalau udah sampai jangan lupa kabari mama."
Deva mengangguk lalu berjalan keluar rumah, dan naik ke mobil yang sudah disiapkan oleh supirnya. Tak lama mobil itu pergi meninggalkan pekarangan rumah, Dian tersenyum pahit melihat putranya yang berubah semenjak kepergian Luna. Padahal Dian selalu bilang kalau ini semua bukan salah Deva, ini sudah takdir, tapi lelaki itu masih saja tidak mendengarkan. Anaknya berubah menjadi lelaki pendiam, tertutup dan jarang bersosialisasi lagi, semoga saja ini semua tidak lama, ya, Dian sangat merindukan putranya yang dulu, Deva yang penuh dengan kebahagiaan.
***
"Pak nanti mampir ke makam Luna dulu," pinta Deva pada sang supir.
"Iya, tuan."
Mobil itu berhenti di depan gerbang pemakaman umum dimana Luna di makamkan. Hati Deva kembali nyeri saat melihat ratusan makam berderet rapi disana, salahsatunya adalah makam Luna, perempuan yang amat dicintainya.
Deva turun dari mobil dan berjalan memasuki pemakaman, kaki jenjang nya melangkah menuju satu makam yang tanah nya masih sedikit basah. Ditangannya ada buket bunga Lily, bunga yang Deva berikan kepada Luna saat lelaki itu mengungkapkan perasaannya.
Saat sudah tiba, pria itu berjongkok. Menaruh buketnya disandarkan pada batu nisan. Jemari nya mengelus batu tersebut, air mata jatuh membasahi pipi. Walaupun sudah beberapa minggu, dirinya masih merasa bersalah.
"Assalamualaikum. Gimana kabar kamu disana sayang? Sudah bahagia kan? Udah gak ada rasa sakit? Aku bahagia dengarnya." Ucap Deva seolah-olah tanah di depannya adalah Luna.
Tak lama suasana kembali hening.
"Aku kesini mau pamit sama kamu, aku mau kuliah di University of Sydney, universitas yang saat itu jadi incaran kita. Kamu doain aku, semoga kuliah ku lancar dan bisa jadi lelaki sukses seperti yang kamu bilang."Deva membuang napasnya gusar. Dan menghapus air matanya kasar.
"Kamu baik-baik disini, kalau aku ada waktu aku bakal dateng ke sini." katanya bermonolog.
"Maaf tuan Deva, pesawat sebentar lagi lepas." Deva menoleh pada sopir pribadinya.
"Aku pergi ya Lun, dan untuk kesekian kalinya aku minta maaf. Assalamualaikum." setelahnya Deva pergi dari sana, sesekali pria itu menoleh pada makam Luna.
Percayalah dibalik ketegaran Deva, cowok itu sangat terluka karena kepergian Luna. Bagaimana tidak, Deva belum sepenuhnya menebus salah kepada Luna, tapi Tuhan lebih cepat mengambil gadis itu. Rasa bersalah selalu menghantui Deva, dan kini hanya ada penyesalan yang tak kunjung usai.
Deva masuk ke dalam mobil, lalu tak lama mobil itu pergi meninggalkan pekarangan pemakaman. Dava mengambil ponselnya dari saku, lalu membukanya, wallpaper ponselnya masih poto dirinya dan Luna saat di pasar malam, malam terakhir Deva dengan gadisnya. Sebelum pagi datang memberi kabar yang sama sekali tidak Deva inginkan, gadisnya pergi untuk selamanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
HURT [Sudah Terbit]
Teen Fiction[Beberapa part udah di hapus secara random] Menyedihkan. Menyakitkan. Mengecewakan. Kira-kira seperti itulah gambaran kehidupan yang aku alami. Kehidupan yang penuh dengan air mata, hanya karena satu kesalahpahaman. Copyright 2019 @caca Start : 2 Ok...