Twenty Eight

81.4K 3K 110
                                    

Vote and komennya jangan lupa ❤️

Happy reading...

"Kenapa nomor telepon kamu seharian ini gak aktif Luna?" Tanya Toni saat keduanya sudah duduk di meja makan untuk makan malam.

Beberapa menit Luna diam, mencari jawaban agar papa nya percaya. "Ah itu pa, handphone aku mati jadi tadi pagi aku bawa ke konter."

"Bukan untuk menghindari Rava atau Tasya kan?"

"Nggak kok pa,"

Toni tersenyum sambil menatap Luna dalam, "Papa ngerti kamu kecewa dengan Rava, tapi kamu jangan menghindari Tasya juga."

"Iya pa, besok juga handphone aku udah balik."

"Yasudah sekarang kita makan dulu."

Luna mengangguk lalu keduanya mulai mengambil nasi dan lauk yang di masak oleh bi Surti. Tidak ada percakapan sama sekali di meja makan, aturan itu selalu berlaku ketika sedang makan, agar menjaga kenyamanan.

Setelah makan Toni langsung pergi ke kamar, ingin istirahat. Luna sesekali membantu bi Surti untuk merapikan meja makan, lalu setelahnya Luna pergi ke kamar. Handphone nya masih ia simpan rapi di laci nakas, entahlah hari ini ia memang benar-benar tidak ingin di ganggu oleh siapapun, dan untuk jawaban tadi ke papa nya itu Luna hanya berbohong.

Gadis itu langsung pergi ke kamar mandi, untuk sekedar mencuci muka dan menggosok gigi, lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Semua tugas sekolah sudah ia kerjakan tadi siang, jadi saat ini Luna bingung ingin melakukan apa, membuka handphone? Sepertinya tidak. Atau mungkin laptop? Untuk sekedar menonton drakor, atau film di YouTube, ah mungkin itu bisa menemani Luna malam ini, selain tugas.

"Kira-kira drakor apa ya?" Tanyanya pada diri sendiri.

Saat Luna masih terus mencari drakor apa yang akan ia tonton, tiba-tiba pintu balkon kamarnya ada yang mengetuk. Tanpa berpikir panjang, Luna mendekat untuk membuka pintunya.

"Deva?" Tanya Luna kaget karena yang datang adalah Deva.

Ah iya Luna lupa, bahwa memang Deva lah yang sering sekali datang malam-malam melalui balkon kamarnya, lelaki itu akan memanjat pohon untuk bisa sampai sini, maklum di rumah Luna tidak ada sekuriti yang menjaga. Tapi bukannya Deva harus istirahat di rumah karena baru pulang dari rumah sakit?

"Seharian gue chat, gue telpon gak aktif, kemana aja lo Luna?! Mau menghindar dari gue?!" Bentaknya.

"Dev bukannya lo baru pulang dari rumah sakit? Kenapa lo bisa ada di sini?" Tanya Luna.

Deva merasa sedikit aneh karena Luna sudah mengganti gaya bahasanya, seketika emosi Deva meluap. "Kenapa kalau gue ada di sini?! Gue gak lemah seperti yang lo kira, terus yang sakit itu ginjal gue bukan kaki gue! Dan kenapa lo ganti gaya bahasa lo sama gue?! Gue pernah bilang sama lo ya Luna, kalau gue gak suka lo manggil gue dengan sebutan 'lo-gue'! Hanya gue yang boleh menggunakan kata itu!"

"Tapi Dev, kemarin kan hubungan kita sudah berakhir. Jadi gue punya hak untuk mengganti gaya bahasa gue."

Deva mendekati Luna, hingga jaraknya semakin dekat. Sontak itu membuat jantung Luna bergetar tak karuan. "Lo mau apa Dev?"

Tidak ada jawaban, Deva terus saja mendekat hingga tinggal satu jengkal lagi tubuh keduanya akan bersentuhan. Luna takut dengan Deva saat ini, wajahnya begitu menyeramkan, dengan semirik yang terpancar di bibir cowok itu.

Saking takutnya, Luna terus saja memundurkan langkahnya sampai pada akhirnya Luna tidak bisa melangkah mundur lagi lantaran punggungnya sudah menyentuh tembok kamar. Demi apapun Luna sangat takut sekarang, Deva sangat menyeramkan.

HURT [Sudah Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang