Vote and komennya jangan lupa ❤️
Happy reading...
Pagi ini Rava sudah menunggu Luna di rumah gadis itu, semuanya sudah ia ikhlaskan dan ia juga bersepakat dengan Luna untuk membuka lembaran baru, mengikhlaskan yang telah berlalu dan bersiap menjalani hari baru. Ya, setidaknya hanya itu yang bisa dilakukan keduanya.
Pintu kamar di dekat tangga terbuka, menampilkan Toni dengan jas kantor terpakai rapi di badannya. Toni tersenyum melihat Rava tengah menunggu di ruang tamu.
"Pagi om," sapa Rava.
"Pagi Rav, om turut berduka cita ya, maaf juga, kemarin gak sempat ke rumah kamu." Ucap Toni seraya duduk di hadapan Rava.
Rava tersenyum, "Iya gapapa om,"
"Hubungan kamu dengan Luna sudah membaik? Dia sudah memaafkan kamu?"
"Iya om, kemarin aku dan Luna bicarain tentang masalah ini. Jelas aku punya alasan kenapa aku gak kasih tahu dia,"
"Om percaya sama kamu, jagain Luna ya, buat dia nyaman di dekat kamu, dan selalu ingatkan dia untuk tidak capek-capek di sekolah apalagi melakukan pekerjaan berat,"
Rava sedikit bingung dengan ucapan Toni barusan, namun ia hanya mengangguk sambil tersenyum.
"Pasti om, semampunya, Rava akan jagain Luna."
"Yasudah kalau gitu om pergi ke kantor dulu, bilangin Luna kalau om sudah berangkat." Ucap Toni lalu bangkit dari duduknya.
"Iya om,"
Setelah itu Toni pergi meninggalkan Rava di ruang tamu sendiri, tak lama Luna turun dengan pakaian sekolah yang sama dengannya, gadis itu tersenyum.
"Ayo, Rav."
"Ayo, oh iya tadi om Toni udah berangkat."
"Iya,"
Luna dan Rava jalan beriringan menuju motor Rava yang sudah terparkir rapi di depan teras rumah Luna. Tak lama motor itu pergi meninggalkan pekarangan rumah.
∆∆∆
Deva menatap pemandangan pagi ini di balkon kamarnya, dengan sesekali menikmati udara yang lumayan segar. Cukup bosan sebenarnya sudah satu minggu ia diam di rumah saja seperti ini.
Terkadang Deva berpikir apa yang ia rasakan saat ini adalah balasan atas perilaku nya terhadap Luna, namun apakah benar? Bisa iya dan bisa juga tidak.
"Dev, mama berangkat. Jangan lupa obat kamu di minum," ucap Dian dari arah pintu kamar Deva.
Cowok itu membalikkan badannya lalu tersenyum hangat, "Siap ma,"
"Yaudah kalau ada apa-apa telpon mama."
Setelahnya Dian kembali menutup pintu, ya, beginilah Deva di rumah, sendiri. Terkadang ia kasihan melihat mama nya harus bekerja seperti sekarang supaya bisa membiayai nya, Deva ingin membantu tapi apa yang harus ia lakukan? Lulus SMA saja belum, jaman sekarang mana ada pekerjaan yang mau menerima hanya ijazah SMP. Papa nya? Cih, mungkin Deva saat ini sudah menganggap lelaki itu tidak ada, ya, meninggal dunia.
Selama setahun ini juga Deva merasa kalau persahabatan nya dengan Rava semakin renggang, mungkin ini semua karena ulahnya. Omongan Rava saat itu yang bilang kalau lelaki itu mencintai Luna, masih terpikirkan oleh Deva. Sakit? Jelas, cowok mana yang tidak sakit hati saat sahabatnya mengakui bahwa ia menyukai kekasihnya. Ingin marah? Deva tidak bisa, karena ia sadar semua ini juga karena salahnya, ia sendiri yang dulu selalu menyuruh Rava untuk selalu menemani Luna, jadi wajar kan kalau salah satu diantaranya menyimpan rasa?
Deva menghembuskan nafasnya berat, memori tentang hubungannya dengan Luna selalu saja berputar di otaknya, ya, memori saat hubungan keduanya masih di selimuti oleh kebahagiaan dan kasih sayang.
"Jangan nangis dong, nanti cantik nya ilang." Bujuk Deva yang melihat Luna nangis sesegukan.
"Abisnya kamu jahat, gak bolehin aku beli harum manis. Padahal aku mau Deva!"
"Kamu kan udah manis, buat apa beli yang manis-manis lagi? Nanti diabetes aku nya."
"Sejak kapan kamu jadi alay?!"
"Sejak merajut kasih dengan mu."
"Dasar lebay. Aneh kamu Dev,"
"Gapapa aku rela di pandang aneh bahkan gila sekalipun asal bikin kamu bahagia, karena...." Deva menggantungkan ucapannya.
"Karena?"
"Karena kebahagiaan kamu lah yang menjadi tujuan aku selamanya."
Luna tersenyum geli melihat Deva seperti itu, karena ini hal yang sangat langka Deva tunjukan, biasanya Deva tidak pernah sealay ini. Entahlah mungkin Deva habis kejedot.
"Ternyata tujuan gue buat bikin lo bahagia gak selamanya ya, Lun. Andai perselingkuhan itu gak terjadi mungkin hubungan kita gak kayak sekarang. Gue tahu ini bukan salah lo, tapi gue gak rela nyokap gue di sakitin sama nyokap lo, jadi selama lo belum menderita gue akan terus menyakiti lo Lun." Ucap Deva seraya mencengkram tangannya menahan emosi.
Cowok itu kembali menghembuskan nafasnya, "Gue emang masih mencintai lo, tapi saat ini hati gue terbagi Lun. Antara cinta dan benci yang di tunjukkan kepada orang yang sama yaitu, lo. Gue selama ini dekat dengan Melly, tapi yang bikin gue aneh, kenapa gue gak bisa mencintai dia dengan mudah seperti saat pertama kali gue mencintai lo? Lucu si, gue selalu mesra sama Melly dan menghabiskan waktu bersama, tapi gue gak punya perasaan apapun. Mungkin akan menyakiti Melly, tapi mau bagaimana lagi, cinta tidak bisa di paksakan bukan?" Ucap Deva pada dirinya sendiri. Entahlah Deva juga tidak tahu kenapa ia bicara seperti tadi, padahal tidak ada orang sebagai lawan bicara nya.
Tak lama Deva tertawa sendiri, kenapa dirinya jadi galau seperti ini? Bukannya tujuan awalnya adalah menghancurkan hidup Luna? Ah sudahlah terlalu rumit kalau di pikirkan.
∆∆∆
Seorang perempuan dan laki-laki sedang duduk berdua di bangku taman belakang, bel istirahat sudah berbunyi, namun keduanya tidak memutuskan untuk ke kantin melainkan pergi ke taman belakang karena ada hal yang ingin di bicarakan.
"Gue udah tahu semuanya,"
"Tahu tentang apa?"
"Tentang, kalau lo sebenarnya adalah saudara tiri-" ucapannya langsung di potong.
"Lo tahu dari mana?"
"Gak penting, yang mau gue tanyain, sampai kapan lo mau nyembunyiin ini? Semakin lama lo nyembunyiin nya, semakin merugikan juga buat dia."
Cowok itu menghela nafasnya, lalu diam sebentar untuk merangkai kata-kata. "Gue tahu, tapi gue hanya sedang menunggu waktu yang tepat untuk menjelaskan semuanya. Lo gak ngerti gimana di posisi gue, ya, gue tahu gue salah, harusnya dulu gue langsung ngejelasin bukan malah diam sampe sekarang."
"Gue gak ngerti karena gue gak ada di posisi lo, tapi sampai kapan lo nyembunyiin ini? Lebih baik dia tahu dari lo, dari pada tahu dari orang lain, karena itu lebih menyakitkan. Percaya sama gue, capat atau lambat semuanya bakal terbongkar."
"Jangan egois, lo harus bisa menerima konsekuensi dari semua ini." Setelah mengucapkan itu sang gadis langsung berdiri dan beranjak dari duduknya.
Tinggal-lah cowok ini sendirian di taman, ucapan gadis tadi sangar mengganggu pikirannya, gue emang egois, tapi gue janji akan bilang semuanya, cuma gak sekarang. Ucapnya dalam hati.
TBC.
Huaa 1 Minggu gak update, apakah masih ada yang nunggu cerita gajelas ini?
Maaf ya kalau di part ini gak jelas'(Btw ada yang tahu siapa cewek dan cowok yang lagi ngobrol di taman? Ini udah gue kasih clue ya tentang salahpaham nya, ada yang bisa nebak?
Follow ig : syrfhslsbl.2
Oke deh sampai baca di part selanjutnya
Bye, see you ❤️

KAMU SEDANG MEMBACA
HURT [Sudah Terbit]
Novela Juvenil[Beberapa part udah di hapus secara random] Menyedihkan. Menyakitkan. Mengecewakan. Kira-kira seperti itulah gambaran kehidupan yang aku alami. Kehidupan yang penuh dengan air mata, hanya karena satu kesalahpahaman. Copyright 2019 @caca Start : 2 Ok...