Mematung

417 31 2
                                    


26/03/2019 Jakarta Selatan
Pondok Indah

Sinar mentari yang masuk di celah-celah jendela kamar, membangunkan Irene diminggu pagi ini. Kebiasaan sekali. Kalau hari minggu saja ia selalu bangun lebih awal.

Otot lengan direnggangkan demi kenyamanan. Matanya terbuka setengah sembari mengangkat tubuh yang nampak lemas didudukkan. Belum melakukan apapun tapi rasanya sudah lelah.

"Hoam.." Irene mengucek mata kanannya sebelum bangkit mengambil sesuatu.

Sebuah dairy ungu.

Meski hatinya merasa ragu, ia tetap nekat menulis apa yang terjadi dalam mimpinya semalam. Pikirannya tertuju pada sekelebat memori manis yang kini ia tuangkan dalam tulisan.

Pulpen yang diapit itu menghasilkan kata demi kata menjadi beberapa kalimat yang tersusun rapih. Uluman senyum tipis terpatri di wajahnya.

Malam tadi, untuk tiga malam terakhir.

Aku bermimpi lagi, ditempat yang sama.
Lelaki bernama Vante itu.. tatapannya meneduhkan.
Aku menyukainya, sangat.

Dia mengatakan perasaannya padaku.
Dan aku tidak tahu harus membalas apa.
Apakah sebutan 'sepasang kekasih' sudah berhak kumiliki dengannya?

Karna aku juga memiliki perasaan yang sama.
Hanya saja.. aku belum mengungkapkannya.
Jadi.. apa yang harus kulakukan, Tuhan?

Irene mengakhiri tulisannya dengan menambahkan coretan singkat berupa tanggal. Menutup buku itu lalu mengembalikannya ke dalam laci.

Gurat halus tergambar samar di dahinya. Ia nampak gusar dengan segala kemelut dihatinya. Kebimbangan ini sungguh menyesakkan dadanya.

Irene POV

Hawa dingin membuatku malas keluar kamar. Tapi aku juga takut Mama akan marah. Akhirnya kuputuskan bangkit untuk mandi dan membersihkan diri.

Setelah selesai, aku kembali terduduk di depan meja rias. Memoles wajahku dengan riasan natural. Tapi tubuh ini belum mau beranjak. Aku malah terdiam linglung memikirkan mimpi semalam. Mimpi yang benar-benar membuatku berkemelut dalam bimbang.

Asumsi buruk selalu menghampiri ruang otakku. Banyak pertanyaan yang tak mampu keluar lewat lisan. Semua jelas hanya mimpi. Tapi lagi-lagi, 'kenapa' terasa sangat nyata?

"Apa Kak Wendy bakalan percaya sama semua ini?"

Kami menjadi akrab seperti Kakak beradik sejak 1 tahun lalu. Saat itu aku senang sekali karna kedatangan Kak Wendy bisa mengisi hari-hari dimasa kelamku dulu. Kami banyak menghabiskan waktu bersama. Bercerita tentang apapun.

"Rene, semisal kamu punya masalah yang menurut kamu rumit, kamu jangan ragu buat langsung cerita sama Kakak, ya? Harus, lho."

Begitu katanya. Aku bahkan masih ingat, didetik setelahnya aku malah tertawa. "Itupun kalo kejadian, Kak." Bebal sekali memang. Aku malah menanggapi nasihat itu dengan candaan. Dan Kak Wendy hanya bisa mendengus sebal.

Jadi.. bagaimana dengan ini? Saat ini aku bahkan belum merasa cukup siap untuk memberitahu semua yang kualami tiga malam terakhir. Tentang mimpi dan ilusi yang terasa nyata. Tentang lelaki bernama Vante yang berhasil mengambil separuh dalam jiwa ini.

✓Destiny of Dream | by thereowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang