Curiga

434 33 0
                                    

Irene terus berjalan cepat hingga dadanya naik turun. Lalu menormalkan deru napasnya sambil menilik ke segala sudut untuk menemukan Seulgi yang sekarang malah betulan hilang dibawa Jimin.

Segala sisi sudah dijelajahi. Tapi sang empu tetap tidak bisa ditemukan. Irene yang kini berdecak sebal perlahan duduk disatu bangku panjang.

"Jimin bawa dia kemana, sih?" gumam Irene tak habis pikir.

"Rene!" Panggilan itu membuat Irene seketika menoleh dan mendapati Seulgi yang kini setengah berlari ke arahnya. Napasnya tersenggal. "Sorry,"

"Pergi kemana tadi?"

Seulgi mendongak untuk menatap manik bulat jernih itu. "Kelas XI-D IPA, kalo aja gue ga lepasin genggaman dia, pasti udah jauh dibawa balik. Sialan memang." Dengusan sebal begitu kentara.

"Mereka sebenernya kenapa, sih? Kayaknya muncul terus dijangkauan kita. Apalagi semenjak murid pindahan itu jadi temen akrabnya Jimin."

Kalimat Seulgi kelewat jujur itu membuat hati Irene mencelos. Ulu hatinya seperti dicubit. Mengetahui fakta bahwa Seulgi yang sekarang terlihat sangat tidak nyaman dalam situasi ini, membuat otaknya berpikir keras.

"Tadi itu gue beneran sebel ga, sih?"

"Rene? Jadi ga?" Tangan Seulgi menepuk bahu Irene dengan pelan.

Setelah mengiyakan, mereka kembali melanjutkan langkah menuju kafe. Diselingi canda tawa ringan bermaksud melepas semua kejadian super aneh yang terjadi beberapa menit lalu.

Akhirnya Irene dan Seulgi sampai. Tempat yang jaraknya tidak begitu jauh dari rumah Seulgi, kini nampak ramai pengunjung. Meski begitu, tempat ini tidak membuat orang berdesak-desakan karna bangunannnya yang cukup luas.

Makanan yang tersaji di daftar menu juga seperti makanan kafe pada umumnya. Paling hanya beda nama saja.

Seulgi mengedarkan pandangannya mencari tempat yang nyaman. Sementara Irene hanya diam di tempat menunggu keputusan Seulgi. Selang satu menit Seulgi menoleh dengan telunjuk yang diarahkan. "Situ, yuk?" Meja kayu itu berada di pojok dekat jendela.

Irene sedikit terkesiap. "O-oh, iya."

Setelah mereka duduk, Seulgi memanggil salah satu pelayan. "Mas, coffe latte satu ya. Lo mau apa, rene?"

Irene mengerjap kecil. Sudah berapa kali termenung, sih, Irene Kenzia?

"S-samain aja." Dua kata yang jelas terbata itu membuat Seulgi memicing samar.

Pelayan itu mengangguk lalu kembali untuk mengambil pesanan selanjutnya.

Seulgi memandangi Irene dengan tatapan yang sulit dibedakan. Antara penasaran dan curiga. Bahkan sejak tadi, ia sebenarnya menaruh satu asumsi yang entah benar atau tidak.

"Kenapa? Masih kepikiran yang tadi?" tanya Seulgi.

Irene memutus silang tatap itu. "Nggak, kok. Ngapain juga harus kepikiran?" Mengalihkan pandangan ke arah selain manik sipit Seulgi adalah jurus jitu Irene detik ini.

Seulgi yang masih merasa ada sesuatu yang disembunyikan Irene, berpura-pura tuli sembari mengeluarkan ponselnya. Keduanya terdiam cukup lama sampai salah satu pelayan tadi kembali sambil menyodorkan dua gelas coffe latte pesanan mereka.

Selepas berterimakasih, Irene mulai menyeruput coffe latte miliknya, begitupun juga Seulgi. Tidak ada pembicaraan yang mengisi ruang udara disekitar mereka.

Hening dalam sekejap. Alih-alih ingin menghabiskan waktu bersama. Sekarang, Seulgi justru dibuat keheranan campur kesal karna Irene terus mendiaminya.

"Sampe balik bakal begini, rene?" Seulgi mendatarkan ekspresinya sambil mengaduk pelan minumannya yang kini tinggal setengah gelas.

Irene tersenyum kaku. "Ya, enggak lah! Gue cuma lagi.." Kalimatnya terjeda. "Lagi ga mood ngapa-ngapain, hehe."

Ekspresi datar tadi berganti menjadi serius. Manik itu menatap Irene penuh tanda tanya dengan sedikit kekhawatiran yang tersirat.

"Gue mau tanya, boleh?"

Dahi Irene berkerut samar. Dua detik sempat terdiam karna merasa ragu. "Boleh, tanya apa?"

Sejak Irene menceritakan pengalaman mimpi yang terdengar unik sekaligus misterius itu, ia jadi selalu ingin tahu bagaimana perkembangannya. Walaupun kemungkinan besar Irene akan bungkam dan sama sekali tidak akan bercerita, tapi Seulgi tidak mau menyerah sebelum mencoba.

"Soal mimpi itu.. masih berlanjut?" Matanya tidak mampu menyembunyikan rasa takut jika nanti lawan bicaranya akan tersinggung.

Mulut Irene seketika terkatup rapat. Ia tak tahu harus menjawab apa. Tapi satu hal yang kini tersemat dihatinya, ia belum siap menceritakan soal mimpi itu kepada siapapun.

Ia menggigit bibir bawahnya, matanya tak mampu menatap Seulgi yang kini menunggu jawabannya. "Ya ampun!"

Ujaran bernada agak tinggi itu membuat Seulgi keheranan. "Loh, loh kenapa?"

Cengiran polos diukir sengaja oleh Irene. "Gue lupa ada janji sama nyokap jam 3. Sorry, gue ga bisa lama-lama."

Bermodal ponsel, dirinya berpura-pura mengecek pukul berapa sekarang. Dengan raut yang sekali lagi sengaja dibuat khawatir, Irene berdiri. "Sorry ya, seul. Ternyata nyokap gue udah nelfonin dari tadi."

"Gue balik duluan, ya." Irene berkata demikian setelah ia memakai tas ranselnya. Saat akan berjalan, Irene ingat sesuatu. Ia berbalik menatap Seulgi.

Yang sedari tadi diam menyaksikan kerepotan Irene, kini tersenyum kaku. "O-oh, tenang-tenang gue yang traktir, ok? Hati-hati kalo gitu."

Irene tersenyum tipis, "Thanks." lalu berjalan keluar caffe.

Seulgi menatap bangku kosong di depannya sambil membuang napasnya gusar. "Gue harap, ini bukan penundaan yang bakal bikin gue nyesel nantinya."

.
.
.
.
.

Vote + Comment, please!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Vote + Comment, please!

From : igirl
Semoga kalian selalu sehat dan baik, ya!
Love you♡

✓Destiny of Dream | by thereowTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang