BAB 9 PERJODOHAN II hlm.1

1.7K 128 2
                                    

"Ummi, Nafisa ingin bicara. Apa Ummi repot ?"

Ummi Salamah yang menulis beberapa catatan keuangan koperasi pondok menatap menantunya." Mau bicara apa, Nduk ?"

"Itu Ummi... Saya sudah bilang Gus Ridwan dan beliau setuju. Maka sekarang saya ingin menyampaikan hal ini kepada Ummi..." Nafisa sedikit ragu.

Ummi Salamah menutup bukunya." Tentang apa to? Kok keliatannya serius sekali ?"

"Tentang Syafiq... Maaf jika saya lancang.. Tapi saya berniat menjodohkan Syafiq dengan sahabat saya."

Ummi Salamah agak terkejut." Sahabatmu ? Siapa? Kenapa tidak dari dulu kamu ngomong, Sa?"

"Saya baru kenal dia, Ummi. Tapi dia wanita yang baik... mungkin Syafiq...."

Bu Nyai itu mengangguk, mengerti maksud Nafisa. " Tapi kamu tahu sendiri Syafiq bagaimana.... Katanya dia mau nyari calonnya sendiri... "

"Ehmm... coba sekali ini saja, Ummi..." Wajah Nafisa terlihat sangat memohon. Tidak pernah Nafisa meminta dengan sangat seperti ini. Ummi Salamah menaruh curiga.

"Kamu semangat sekali. Memangnya siapa dia ?"

Nafisa tersenyum," Ummi ingat tidak kita pernah pesan nasi kotak saat pengajian kemarin ? Saya berniat menjodohkan Syafiq dengan pemilik catering itu."

Ummi menyipitkan mata." Oh .. Dia seorang pengusaha?"

"Benar Ummi... Tapi bukan anak Kiai ataupun keluarga ustadz..."

"Kalau itu kurasa bukan hal penting. Yang penting dia seorang muslim.." ucap Ummi Salamah.

"Dia muslimah, Ummi. Tapi...." Nafisa bingung sekarang.

"Tapi apa, Nduk?"

"Dia janda, Ummi. Janda beranak satu..."

Ummi Salamah sedikit kaget, lalu diam. Sebenarnya, itu bukan masalah besar. Meski sebagai ibu, dia menginginkan putranya menikah dengan seorang gadis karena Syafiq pun masih perjaka. Tapi jika diingat- ingat, Syafiq sudah menolak empat kali tawaran dengan gadis, mungkin saja dia mempunyai pandangan yang berbeda- seperti abahnya, misalnya.

Ummi Salamah tersenyum. "Coba kubicarakan dulu dengan abah Husin. Kalo beliau setuju, kita bicarakan lagi. Jangan beritahu apa-apa dulu ke Syafiq."

"Baik, Ummi. Insya Allah.." kata Nafisa.

"Siapa namanya, Nduk?"

"Ellia, Ummi. Ellia Hakim binti Maskur Hakim."

******

"Sayang, ibu mau beli sabun dulu ya ", kata Ellia di ambang pintu kamarnya.

Lala memandangnya dari tempat tidur. Wajahnya pucat, tak ada senyum. Sejak hari dimana Ellia menolak permintaan Lala, balita itu sering muram. Ia enggan berbicara dengan Ellia.

Melihat putrinya diam saja, Ellia menghampirinya. Dia duduk di pinggir springbed bergambar kura-kura hijau besar ditengah tempat tidur itu.

"Anak ibu mau nitip apa? " tanya Ellia.

Lala menggeleng.

"Susu kotak? Biskuit? atau... jepit rambut baru ?"

Lala menggeleng lagi. Ellia menghela nafas. Dia tahu anaknya marah padanya. Tapi dia bisa apa? Menghadirkan seorang ayah itu berarti menghadirkan seorang suami pula untuknya....

"Baiklah.. Lala di rumah sebentar. Ibu sayang Lala..." Ellia mengecup pipi mungil itu. Tiba-tiba Lala mendekap ibunya, dia menangis keras hingga Mak Rum kaget dan berlari dari dapur.
" Ada apa ? Dia jatuh ?"

" Tidak, mak. Aku tidak tahu, tiba-tiba .... " Ellia sangat bingung. Diangkatnya wajah lugu itu. Air mata membasahi seluruh wajahnya. "Katakan sayang, Lala kenapa? Lala marah ? Ibu ada salah? "

Lala terisak. Memeluk leher ibunya, tenggelam dalam pelukan Ellia. Mak Rum mengelus rambut bocah kecil itu.
"Masih keraskah tembok hatimu anakku? coba tanya dia, kenapa ia seperti ini ... seharusnya tanpa bertanya pun kau sudah tahu jawabannya.."

Ellia terdiam. Dia tidak tahu apa yang harus dia lakukan. Lala sangat menginginkan kehadiran sosok ayah kembali. Bocah kecil itu sudah jatuh hati kepada seorang pria yang menurutnya cocok menjadi ayah pilihannya. Pria yang merupakan adik ipar Nafisa. Si ayah ganteng yang bahkan Ellia tidak tahu namanya, tidak pernah bertemu orangnya. Lala yang terisak dalam dekapannya membuatnya bimbang. Bimbang hingga mungkin bisa untuk mencoba.....

"Lala, coba liat ibu!" Balita itu menengadah." Jika Lala sangat sayang dengan ayah ganteng, Lala harus berdoa. Ibu akan coba menemuinya." Saat itu juga anak itu mendekapnya lebih erat, dengan berderai air mata dia tertawa. Mak Rum menghela nafas. Ellia merasa buta, hilang pegangan. Adakah seorang janda memiliki keberanian meminta ikatan kepada seorang pria ?


Ellia melamun dengan terus mengaduk jus nanasnya. Dia sudah mengirim pesan kepada Nafisa untuk bisa bertemu. Mereka janjian di cafe kecil dekat taman kota.

Pikiran Ellia jauh melayang. Jantungnya bergemuruh membayangkan rasa malu yang akan dihadapinya. Bagaimana jika adik iparnya sudah beristri ? Atau menolak ? Atau yang lain ? Ellia merasa kepalanya tertindih batu. Dia berusaha mengumpulkan keberanian untuk bicara yang sebenarnya tidak ada.

"Assalamu alaikum..." Nafisa menarik kursi di hadapan Ellia.

Karena larut dalam pikirannya, Ellia berjingkat saat Nafisa menyapanya." Astaghfirullah.. Walaikum salam mbak..."

"Duuh, segitu kagetnya. Lagi mikir apa sih?"

"Maaf ya mbak.. Aku minta ketemu berdua aja. Najwa dengan siapa?"

"Dengan abahnya, Gak pa-pa, El... santai aja. Hem... Ada perlu apa? " tanya Nafisa.

Ellia diam. Tangannya erat menggenggam gelas.

"Saya ... tidak tahu... gimana... memulainya mbak.... " Ellia gugup.

Nafisa curiga. "Kamu ada masalah?"

"Sebenarnya... " Ellia ragu.

"Tunggu, biar aku pesen minum dulu ya. "Nafisa celingukan,"Mas! " Nafisa melambaikan tangan ke pramusaji." Es Cappucino satu."

"Baik, Mbak." jawab si pelayan.

Nafisa menatap Ellia lagi." Tenang El... jangan gugup. Coba katakan pelan-pelan..."

"Mbak... apa... adik ipar... mbak... sud... sudah... me...ni...kah?" Ellia serasa ingin terjun ke jurang saja.

Nafisa lebih curiga lagi."Belum. Memangnya ada apa dengan adik iparku?"

Ellia menelan ludah keras-keras." Ap.. apa... sudah... pu.. pu... punya... pa..sangan ?"

Ah, Nafisa mengerti. Dia tersenyum. Ellia melanjutkan," Lala... se.. se... sepertinya... su.. su... ka... "

"Maukah kau ikut denganku Ellia?" potong Nafisa.

"Eh, Kemana mbak ?"

"Ke tempat dimana mungkin kamu akan mendapatkan harapan." Nafisa berdiri, Ellia mengikuti dari belakang. Jutaan rasa menikam relung hatinya. Nafisa membayar minuman mereka yang bahkan belum di sajikan, tersenyum membayangkan angannya sebentar lagi jadi nyata.

MENGGAPAI DUA SYURGA (END) - Sebagian part telah di hapusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang