Halaman 42

1.7K 112 4
                                    

"Mau pesan apa, mbak?" tanya Fifi sambil membuka tutup pulpennya. Aneh, siapa sih wanita ini? Bu bos minta supaya ditanyain mau pesen apa orang ini, padahal kan seharusnya pembeli sendiri yang pesan ke aku. Ah, kepo deh gue, batin Fifi.

"Eh emm... es teh aja mbak. Maaf ya, saya nunggu teman saya," jawab Annisa bohong.

"Oh siap mbak." Fifi kembali ke tempatnya.

Beberapa menit kemudian Surti membawakan pesanan Annisa.

"Matur suwun, mbak.." ucap Nisa.

Surti menggangguk, tersenyum," Nggeh bu... Silahkan..."

Nisa ragu." Mbak maaf, kalau boleh tahu, siapa pemilik warung makan ini?"

"Namanya Bu Ellia, Bu... Ada apa ya?"

"Ah tidak. Hanya ingin tahu kok, warungnya rame.. Pengelolanya pinter tentunya," kilah Nisa.

"Oh.. Ibu mau bertemu?" tanya Surti.

Nisa bimbang. Ada apa dengan dirinya? Kenapa dia ingin sekali tahu seperti apa mantan calon istri suaminya? Apakah dia cemburu? Apakah dia merasa.... kalah?

"Ah tidak tidak, mbak. Emm.. lain kali saja. Mungkin beliau sangat sibuk sekarang."

"Kalo gitu saya permisi nggeh, Bu..."

Nisa menyeruput es teh manisnya. Dinginnya es belum cukup menenangkan kegalauannya. Karena seperti orang bingung, Nisa meletakkan uang di meja dan beranjak keluar dari warung makan itu.
******
Toni dan Syafiq kembali ke toko selepas adzan dhuhur. Sambil mengipasi tubuhnya, Toni memainkan ponsel.

"Ton, tadi kamu di cari Nur," adu Umam.

"Aku? " Toni berhenti mengipas.

"Iya. Tapi pergi gitu aja ndak tahu ada perlu apa. Ndak bilang orangnya," kisah Umam.

Syafiq menenggak teh botol." Kalian...." Jari Syafiq bergerak-gerak.

"Oh bukan, Gus!" bantah Toni tergesa." Bukan dia.... "

"Bukan dia?! Lalu..." Syafiq tersenyum menggoda Toni.

Toni menghela nafas."Adiknya."

********
"Dia pergi, El..." seru Nur.

Ellia tak menggubris sahabatnya itu. Matanya menerawang lewat jendela. Entah apa yang dipikirkan, entah apa yang dirasakan. Dia menghela nafas berat berkali-kali.

Nur yang sedikit sedih melihatnya, bimbang apakah dia harus memberitahu Ellia yang sebenarnya. Kira-kira apa reaksi Ellia jika tahu Gus Syafiq masih terus mencintainya hingga detik ini?

"El... emm... sebenarnya Gus Syafiq itu...." kata Nur terputus.

Ellia berbalik." Ku mohon, Nur... Bisakah kau berhenti menyebut namanya? Kau tahu aku belum bisa melupakannya, jangan membuatkan jalan untukku berbuat dosa dengan memikirkan suami orang.." Ellia kembali memandang ke luar jendela.

Nur sangat prihatin. Dia menepuk bahu Ellia." Sorry.... ," katanya sambil mengedip-ngedipkan mata. Ellia tak bisa tidak tertawa. Tapi saat tawa itu mengembang, air matanya malah berjatuhan.

*********
Nisa kembali ke ndalem dengan hati kusut. Ah, bodohnya tindakanku. Untung saja Ellia tidak tahu apa yang telah kulakukan. Ellia tidak salah. Ellia tidak ada sangkut pautnya dengan kondisi rumah tanggaku. Dia hanya bagian masa lalu suamiku, Nisa menasehati dirinya sendiri.

Nisa merasa punya semangat baru. Ia akan mencoba merebut hati suaminya. Ya, ia akan terus berusaha. Nisa beranjak ke dapur, ia akan menyiapkan makan malam spesial untuk sang pujaan hati.

Nafisa turun dari mobilnya di parkiran toko Syafiq. Najwa lari-lari mengitari parkiran luas itu. Nafisa memanggilnya, menyuruhnya ikut sang bunda.

"Hallo pamaaan.... " Najwa melompat ke gendongan Syafiq.

"Wa 'alaikum salaam.." Syafiq mencubit hidungnya.

"Ups ! Maaf... Assalamu 'alaikum.." Najwa menutup mulut kecilnya dengan cengengesan.

"Repot ya?" tanya Nafisa.

"Nggak mbak. Kalian darimana ?"

"Jalan-jalan aja. Cari angin." jawab Nafisa singkat.

"Hu uh... terus makan nasi goreng petai pake cumi di tempatnya bibi Ellia. Sayang, Lala gak ada. Padahal aku kangen banget." Najwa menekuk wajahnya.

Syafiq memandang keponakannya itu. Bukan hanya Najwa yang merindukan Lala, tapi pamannya juga. Tak terbayang, pasti Lala sangat sedih karena peristiwa itu.

Syafiq menoleh ke kakak iparnya." Mbak bertemu dia?"

"Ya. Bukan bertemu, tepatnya hanya bertatapan. Dia tahu aku disana, tapi tidak mau menemuiku.. Aku pun tidak berani lancang menemuinya. Aku takut aku malah membuatnya lebih terluka...." papar Nafisa.

Syafiq menghela nafas. Beberapa detik mereka sama-sama diam. Syafiq menurunkan Najwa," Ayo kita makan Sempol ayam. Om Toni baru beli tadi."

Najwa berlari ke dalam. Syafiq menyusulnya. Nafisa masih mematung, memandang adik iparnya. Ia tahu Syafiq sedang tidak baik-baik saja.

Adzan Isya' berkumandang di masjid pondok. Santri-santri putra berdesak-desakan menuju tempat wudlu. Sebagian iseng membawa lari sarung temannya. Riuh sekali. Setiap kali waktu sholat tiba, mereka meramaikan masjid dengan polah lugu mereka. Calon imam masa depan yang bertaburan.

Nisa tertawa melihat pemandangan itu. Lucunya anak-anak itu. Ah, anak. Tiba-tiba hatinya ingin punya momongan. Tangan kanannya tanpa sadar mengelus perutnya. Kapankah ia hamil? Kapankah ia melahirkan keturunan Syafiq? Nisa mengendalikan air mata yang datang tiba-tiba. Sekarang bukan saatnya bersedih hati, ini saatnya meminta kepada sang Illahi.

Selepas jama'ah, Nisa nampak sandal suaminya sudah di depan pintu. Hatinya senang. Dia buru-buru masuk rumah. Terdengar suara suaminya tengah mandi. Nisa menyiapkan makan malam. Dengan hati berdebar ia menunggu Syafiq di meja makan.

Syafiq telah selesai mandi. Lepas berpakaian, ia ke meja makan, duduk berhadapan dengan Nisa.

"Gus mau makan apa?" tanya Nisa mengambil piring di depan suaminya.

"Apa saja." jawab Syafiq singkat.

Nisa tidak kaget lagi. Nisa sudah terbiasa dengan sikap cuek suaminya. Syafiq tidak pernah marah, apalagi membentak. Tidak pernah meminta. Tapi juga tidak pernah perhatian kepadanya.

Nisa menyerahkan piring berisi makanan kepada Syafiq. Mereka makan dalam diam. 1 bulan menikah tetap seperti ini keadaannya.

Syafiq menegak satu gelas penuh air putih setelah menghabiskan makanannya. Dia beranjak dari kursi, Nisa menghentikannya. "Gus, Njenengan mau... ke kantor guru... lagi?" Takut Syafiq tersinggung, Nisa memelankan suaranya. Setelah menikah, Syafiq selalu menghabiskan malam-malamnya di kantor guru  pondok. Bercengkrama atau mengurus administrasi pondok hingga tengah malam.

Syafiq diam. Dia tahu suatu saat, pertanyaan ini pasti ada.

"Ya. Ada yang mungkin perlu denganku?" Syafiq kembali duduk.

Nisa menggangguk." Saya, Gus."

"Katakan, apa yang kamu perlukan dariku."

Nisa meremas tangannya. Dadanya berdebar. Dia berdiri," Bisakah kita bicara di dalam kamar saja ? Saya malu bicara disini.... " Nisa melangkah ke kamar.

Syafiq terpaku. Apa gerangan yang akan dibicarakan Nisa? Beberapa menit berpikir tanpa ada petunjuk, Syafiq menyusul istrinya ke kamar tidur mereka.

MENGGAPAI DUA SYURGA (END) - Sebagian part telah di hapusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang