7. Di Hari yang Petang

10.2K 862 83
                                    

Malam itu hujan turun tanpa henti. Air sungai membanjiri daerah sekitar, dan tanah pun tergerus. Longsor terjadi, membuat seluruh keadaan desa menjadi tak stabil. Ada beberapa warga yang bermukim tak jauh dari sungai. Dan akibatnya beberapa rumah tertimbun longsor malam itu.

Di tengah malam, sekitar pukul 1 dini hari, bala bantuan pun sampai di lokasi kejadian. Tidak hanya pihak aparat tetapi juga dari balai batuan bencana juga datang ke desa Mekar Jaya.

Untuk pertama kalinya, alat berat pun memasuki desa. Guna membantu evakuasi korban yang tertimbun oleh longsor.

Suara isak tangis, suara sirine mobil yang mengangkut jenazah, menghiasi desa Mekar Jaya hari itu. Hari itu, bagaikan petaka yang tak terbendung dan tak terprediksi kapan datangnya.

Fajar telah menyingsing. Para relawan dan aparat berhenti sejenak dari proses pencarian korban. Sejak tadi malam mereka bekerja keras, dan sudah selayaknya untuk beristirahat sejenak. Paling tidak, untuk melepas rasa dahaga dan menambah tenaga.

Tak jauh dari lokasi kejadian, warga desa telah memasang sebuah tenda darurat di depan balai pertemuan warga. Selain warga yang terkena dampak mengungsi di sana, para relawan pun di suguhkan makanan dan minuman mereka di tempat itu.

Mayang terlihat sibuk membuat teh untuk para korban selamat dan aparat yang membantu. Entah sudah teko ke berapa teh kali ini ia buat. Letih memang, tetapi, ini demi kemanusiaan. Karena yang terdampak bencana, juga warga desanya.

Saat tengah sibuk mengaduk teh buatannya, netra Mayang menangkap sosok Angkasa dari jauh. Ia menyipitkan matanya, menatap pria itu. Dimana, Angkasa terlihat berdiri di depan lokasi kejadian, sambil matanya menyisir setiap sudut.

Entah insting Angkasa memang kuat, atau memang tidak di sengaja, tiba-tiba kepalanya ia tolehkan. Dan netranya langsung mendapati Mayang yang sedang menatapnya.

Iih, dia lihat lagi, batin Mayang yang langsung memalingkan wajahnya. Memasang wajah serius, dan sok menyibukkan diri dengan mengaduk teh buatannya.

Mata Angkasa menyipit menyorot sosok Mayang yang tampak salah tingkah. Ia menghelakan napas nya dalam, dan mengabaikan semua itu.

......

Gelap telah menyelimuti dunia. Dimana, tenda darurat terlihat masih begitu ramai. Warga yang rumahnya terdampak masih mengungsi di tenda. Selain itu, sanak saudara dari korban yang terdampak juga tampak berdatangan dan menetap di tenda.

Sudah ada sekitar 15 warga yang di temukan meninggal dunia. Dan ada kurang lebih sekitar 7 warga lagi yang belum di temukan. Di duga, masih tertimbun di longsoran yang menimpa rumah.

Mayang yang terlihat sedang duduk di teras balai, seketika menoleh ketika ayahnya memangil namanya.

"Ambilkan teh untuk bapak-bapak iki, nduk," perintah Tejo pada Mayang.

Mayang mengerutkan wajahnya seketika. Bukan ia malas, tetapi tubuhnya pun sudah letih seharian membantu di sana. Tetapi, walau begitu, ia tetap menjalankannya. Mayang pergi ke dapur darurat, dan membuatkan teh untuk para aparat yang sedang berbicara dengan ayahnya.

Tak lama, Mayang telah selesai membuat teh yang akan ia suguhkan. Tetapi, jantungnya langsung bereaksi dan bekerja dua kali lebih cepat, kala netranya menangkap sosok Angkasa yang juga duduk bersama ayahnya. Sepersekian detik, Mayang menggulum senyumnya. Dan napasnya pun terasa berat.

Mayang sengaja berlutut tepat di hadapan Angkasa. Ia mengusap anak rambutnya sebelah kanan, agar Angkasa yang ada di kanannya dapat melihat wajah nan ayu nya itu dengan jelas.

Di tuangkannya teh dari teko ke gelas satu lalu gelas lainnya. Dimana, asap panas langsung mengepul di gelas itu. Gerakannya begitu gemulai, namun terlihat terkesan cekatan. Wajahnya terlihat tenang, walau deru di dadanya berdegup tak karuan.

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang