8. Sial

8.5K 813 21
                                    

Sungguh, ini merupakan hari paling mengecewakan bagi Mayang. Setelah tadi sore ia di tolak tanpa mengungkapkan perasaan, kini ia malah mendengar ucapan tak mengenakkan.

Saat itu, Mayang sedang berjalan menuju dapur darurat. Namun, belum sampai dirinya di dapur, ia mendengar namanya di sebut, membuat langkahnya terhenti seketika.

Para wanita yang sedang sibuk di dapur, tampak sedang membicarakan tentang dirinya.

"Si Mayang ya, percuma kuliah jauh-jauh ke kota. Ndak akan sukses, kuliahnya saja belajar masak. Ya cuma bolak-balik dapur saja."

"Nggeh buk, untuk opo jauh-jauh belajar sampai ke kota? Di dapur rumah sendiri juga bisa kalau cuma belajar masak."

"Biasalah, dia kan anak kepala desa. Gengsi kalau ndak sekolah sampai ke kota."

Mayang menahan getir di dirinya. Air matanya jatuh saat ia menahan emosi semampunya. Mayang pun mengusap air matanya, lalu ia berbalik. Namun sungguh sial, entah sejak kapan ada Angkasa berdiri di belakangnya.

Mayang tak ingin bertemu dengan Angkasa. Juga tak ingin bertemu dengan para wanita yang membicarakan tentang dirinya. Tetapi, secara naluriah Mayang kembali berbalik. Melanjutkan langkah kakinya memasuki area dapur darurat.

"Eh, Mayang, belum balik ke rumah kah?" Sapa salah satu wanita itu.

Mayang tak menyahut. Ia duduk di kursi pendek, lalu mengambil pisau. Ia memotong bawang dengan begitu cepat. Menunjukkan skilnya dalam memotong bawang.

Mayang mengatupkan bibirnya dengan rapat. Segala kekesalan di dalam dirinya, ia tumpahkan dengan fokus memotongi bawang dengan sangat cepat.

Air matanya pun mulai menyeruak keluar dari pelupuh matanya. Dimana, Angkasa menyaksikan semua itu dan menghelakan napasnya dalam.

"Wah, Mayang. Jago juga ya motong bawangnya." Ucap salah satu wanita itu.

"Iya dong, buk. Kan Mayang sekolah masak di kota." Balas yang lainnya, menyidir.

Mayang sudah tak tahan. Ia lantas menghentakkan pisaunya, kemudian berlari pergi dari sana. Bahkan ia melewati sosok Angkasa, tanpa peduli apapun juga.

......

Angkasa..
Namanya saja, begitu tinggi.
Begitu juga dengan pangkatnya yang begitu di hormati.
Angkasa..
Dari namanya saja, dia tercipta hanya untuk ku lihat.
Dia tak akan pernah ku gapai, walau mendaki puncak setinggi apapun juga.
Angkasa..
Dari namanya saja, sudah jelas ia hanya akan mengawasi.
Tempatnya terlalu tinggi, hingga aku yang begitu kecil ini, bahkan tak terlihat di netranya.
Angkasa..
Terlalu mustahil untuk mengharapkannya, sekali pun di dalam mimpi.

......

Mayang yang biasanya ceria dan cukup cerewet bersama gaya bicaranya yang centil, kini berubah menjadi pendiam. Ia mengatupkan rapat bibirnya, dan berbicara hanya jika perlu saja.

Mayang tetap membantu di daerah kejadian longsor di desanya. Walau dirinya dapat bertemu dengan Angkasa di sana, tetapi Mayang berusaha untuk dapat bersikap baik-baik saja. Walau di hatinya, begitu terasa kehancuran yang mendalam.

Ia menghindari untuk berpapasan atau berkontak mata langsung dengan Angkasa. Dimana ada Angkasa, sudah pasti Mayang akan menghidar dan menjauh.

Kaya gini rasanya di tolak itu. Sesek banget ya, batin Mayang mengusap dadanya.

......

Hari itu, evakuasi seluruh korban telah selesai di lakukan. Para korban yang telah wafat pun sudah di serahkan kepada pihak keluarga. Bisa di katakan, bahwa tugas Angkasa dan seluruh tim hampir selesai.

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang