5. Markas Besar

9.8K 914 24
                                    

Pagi mulai menjelang. Di saat subuh, di pukul 4, Mayang telah sibuk berbenah diri. Ia buru-buru bersiap-siap, agar dengan segera bisa sampai ke markas secepatnya.

Dengan di bonceng oleh sang ayah, Mayang berangkat dari desanya. Melewati jalanan yang masih gelap gulita dengan langit yang masih di hiasi para bintang.

Di sepanjang jalan, Tejo terus menerus menasehati Mayang. Memberi petuah dan saran agar di lakukan oleh anak bungsunya itu. Ia benar-benar terkejut mendengar ucapan Mayang kemarin sore, bahwa Angkasa menyuruh Mayang datang ke Markas. Benar-benar berita yang mengejutkan bagi Tejo.

"Dengerin ya, nduk, sampai di sana langsung di salam Komandan Angkasa, cium tangannya. Kowe harus sopan. Minta maaf kalau ada salah. Ojo ngeyel-ngeyel seperti biasanya. Harus nurut apa yang Komandan Angkasa katakan. Bla..bla..bla.."

Dan Mayang hanya dapat membalas dengan anggukan. Serta berulang kali mengatakan, "nggeh, pak."

Mayang tidak tahu apa tujuan Angkasa menyuruhnya datang ke markas. Hati Mayang pun deg degan, penasaran sekaligus takut untuk menghadapi Angkasa.

Pukul 6 pagi, Mayang dan Tejo sudah sampai di depan gerbang Markas. Ia menarik napasnya dalam dan mengusap dadanya, menetralisir rasa gugup yang menyerangnya.

"Ada urusan apa?" Suara tegas tentara yang sedang berjaga bertanya pada Mayang.

"Saya ingin bertemu Komandan Angkasa," ucap Mayang hati-hati. Dari pada Angkasa, ia merasa lebih seram menatap wajah tentara yang ada di hadapannya saat ini. Apa lagi menatap senjata laras panjang yang ada di pegangannya, membuat Mayang bergidik ngeri.

"Kapten Angkasa! Kapten Angkasa sedang tidak berada di tempat. Silakan kembali lain kali." Jawab pria itu dengan tegas dan memasang mimik wajah datar.

'Kapten Angkasa?'

Mayang berdecak lidah mendengar ucapan pria itu. "Iih, tapi saya harus ketemu. Komandan Angkasa yang suruh saya datang ke sini." Balas mayang. "Ah, kodenya.. Komandan Angkasa kasih saya kode. 012 kalau ndak salah." Ucap mayang bersikeras.

Pria itu tampak menghelakan napasnya dalam. Kemudian ia memberikan jalan bagi Mayang untuk masuk. "Masuk, nanti belok kiri, gedung yang paling ujung sebelah kanan." Ucap pria itu.

Mayang tersenyum sambil mengangguk. "Ah, maturnuwun," ucapnya. "Ayo, pak," panggilnya kepada Tejo.

Saat Tejo ingin mengikuti jejak Mayang, pria itu malah menghalanginya. "Bapak tidak boleh masuk." Ucapnya dengan tegas. Membuat Mayang dan Tejo melongo seketika.

"Kenapa bapak saya ndak boleh masuk?" Tanya Mayang tak terima. Mayang langsung menatap waspada pria yang ada di hadapannya.

"Anak bapak pasti bermasalah. Karena itu, dia harus mengahadap Kapten seorang diri. Lebih baik bapak pulang saja. Kami akan mengantarnya pulang jika urusannya sudah selesai." Ucap pria itu.

"Berapa lama anak saya di sini? Ojo di pukul yo, kasihan anak gadis saya, dia ndak ngerti opo-opo," ucap Tejo merasa tak sampai hati pada Mayang. Apa lagi, wajah Mayang sudah terlihat pucat disitu.

"Tenang saja, pak. Anak bapak akan baik-baik saja, jika anak bapak bisa diam dan menurut. Tidak menambah masalah selama di beri arahan. Paling kasar, mungkin dia nanti di perintah untuk menyapu sebagai hukumannya." Jelas pria itu.

Tejo mengusap dadanya merasa lega. "Ya sudah, nduk, kamu baik-baik di depan Komandan. Kalau di suruh nyapu, sapu yang bersih. Jangan sampai Komandan tambah hukumanmu." Ucap Tejo pada Mayang.

Dengan berpasrah diri, Mayang pun menganggukkan kepalanya dengan patuh. Kemudian ia pun mulai berjalan menuju ruangan yang di maksud pria itu tadi. Sementara Tejo lantas kembali ke desa.

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang