Angkasa menaruh plaster luka di pelipis Mayang yang mengalami sedikit sobekan karena tergores batu. Pada saat itu, kondisi di Desa Jahe sudah dapat di kendalikan. Dan Mayang tampak duduk di bangku penumpang mobil Angkasa.
"Masih lebih baik hanya sobek sedikit, kalau kepalamu pecah kena batu, bagaimana?!" Gerutu Angkasa dengan suara besarnya itu.
Mayang tak menjawab. Justru ia balas dengan menatap tajam Angkasa. Dan perlahan, mata itu mulai berkaca-kaca. "Jangan marahin aku! Aku masih takut!" Balas Mayang yang air matanya mulai berjatuhan.
Mayang langsung memeluk tubuh Angkasa dan menangis terisak di pelukan pria itu. Dimana Angkasa langsung menarik napasnya dalam. Ia benar-benar anti dengan hal-hal yang seperti ini.
"Aku takut, Komandan. Hiks.. hiks.. aku takut," ucap Mayang sambil menangis sedih.
Angkasa menghelakan napasnya dalam. Kemudian satu tangannya mulai naik dan mendarat di kepala Mayang, lalu mengusapnya sekali saja. Hanya sekali.
"Maaf," satu kata itu terasa begitu melegakan Angkasa. Dimana, Angkasa membiarkan wanita itu menangis seperti itu untuk beberapa saat.
Mayang mengurai pelukannya. Ia mengusap air matanya dan menggeser duduknya. "Maafkan saya, Komandan. Saya terlalu takut," ucap Mayang dengan lemah.
Angkasa mendorong kepala Mayang dengan jari telunjuknya, membuat bibir wanita itu cemberut. Lalu ia menutup pintu mobil dan mulai menuju kursi kemudi.
Angkasa memutar kepala mobilnya, lalu bergegas menuju Desa Mekar Jaya kembali. Ia melirik Mayang yang terus diam sembari terus mengusap pipinya yang basah.
"Heh, anak kepala desa," panggil Angkasa. Namun kali ini, Mayang tak meralat ucapan Angkasa. "Malam ini, istirahat dulu. Besok, kamu ke kota berangkat bersama saya saja. Saya akan hantar sampai terminal bus." Ucap Angkasa. Dan Mayang hanya mampu mengangguk dengan patuh.
"Kamu dengarkan saya," perintah Angkasa dan Mayang hanya menoleh ke arahnya. Menatap Angkasa dengan tatapan lelah."Kamu itu jauh-jauh sekolah ke kota, jangan pulang kalau tidak sukses. Jangan pacaran! Kasihan orang tuamu. Hargai perjuanganmu sendiri, yang mau pergi ke kota pun harus mempertaruhkan nyawa seperti tadi." Ucap Angkasa memberi wejangan.
Mayang menghelakan napasnya dalam, kemudian menganggukkan kepalanya. Mayang sadar betul, bahwa dirinya sangatlah jauh berbeda dengan Angkasa.
Meski di kategorikan tak dekat, Angkasa masih peduli dan memberi wejangan pada Mayang. Sedangkan Mayang, yang perasaannya di tolak, malah menumpahkan emosinya dan mengumpat Angkasa dengan tidak sopan.
Dari situ saja, Mayang sadar betul bagaimana perbedaan mereka. Angkasa sangat dewasa, sementara dirinya sangat munafik dan egois. Tentu bukan pasangan sepadan untuk seorang Angkasa.
......
Seperti janjinya, Angkasa mengantarkan Mayang ke terminal bus di kota. Dari sana, Mayang akan melanjutkan perjalanan ke kota tempat ia menempa ilmu.
"Komandan Angkasa," ucap Mayang menatap lekat wajah Angkasa. Mungkin, ini terakhir kalinya Mayang akan berbicara dengannya dan menatap wajahnya itu. "..nuwun sewu yo, atas segala umpatan saya tempo hari." Ucap Mayang penuh penyesalan. Ia tertunduk dalam dan berkata dengan ragu.
"Saya sadar, saya iki egois. Ndak seharusnya saya bersikap kaya gitu. Saya doaken, supaya Komandan bisa dapat pendamping yang sepadan segera. Dan.. Matur suwun buat semuanya."
Air mata Mayang jatuh menghadapi semua ini. Ya, dia harus berpisah dengan Angkasa yang bukan siapa-siapanya.
Benar kata orang, cinta pertama memang akan selalu gagal. Dan ini, jadi pembelajaran dan pengalaman pertama bagi Mayang. Dimana, rasanya sungguh sakit menerima kenyataan yang tak sesuai harapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
RomanceAngkasa. Dari namanya saja, tempatnya begitu tinggi. Tak mampu tangan ini meraihnya. Walau ke bukit manapun ku daki, tetap dia begitu tinggi tak terjamah. Dirinya penguasa, dirinya pelindung, hanya saja.. aku menaruh rasa. Angkasa. Ingin ku gapai...