3. Pertemuan Pertama

12.4K 970 67
                                    

Wajah tegas Angkasa tampak terlihat saat ia menyoroti daerah sekitar dengan mata tajamnya. Banyak pepohonan dan semak belukar di samping kanan kiri jalan yang belum beraspal. Tak jarang, jalan berlubang dan jalanan tergenang air harus di gilas oleh ban mobil Jeep miliknya.

Dari markas tempat ia bertugas, ia dan Juna menempuh perjalanan menuju desa Mekar Jaya. Butuh waktu sekitar 1,5 - 2 jam untuk mencapai desa tersebut. Cukup jauh memang. Tetapi tetap Angkasa tinjau, untuk sebuah tujuan yang mulia.

Sudah hampir 1,5 jam Juna mengendarai mobil menuju desa Mekar Jaya. Entah sudah berapa desa yang mereka lalui, dan entah berapa rentang luas hutan yang harus di tembus. Hingga, tiba-tiba Juna memberhentikan mobil yang ia kendarai.

"Kenapa berhenti?" Suara tegas Angkasa bertanya. Dahinya pun tampak mengkerut tegas sembari menoleh ke sekitar.

"Kapten, itu!" Tunjuk Juna pada seorang wanita kemayu dengan rambut di gulung bertusuk konde, yang tampak lewat di depan mobil mereka.

"Itu perempuan yang kemarin kami temui, Kapten! Dia ngaku-ngaku sebagai adiknya Kapten Angkasa dan marah-marah ke kami." Ucap Juna dengan antusias.

Angkasa menyipitkan matanya menatap wanita yang berjalan semakin menjauh itu. Rasa penasaran pun kembali dirasakan Angkasa di dirinya. Ia ingin tahu, bagaimana wanita itu menggunakan namanya.

"Tunggu di sini!" Perintah Angkasa sembari mengancingkan jaket jeansnya. Angkasa melepaskan baretnya, kemudian membuka pintu mobil dan turun dari mobil itu.

Dengan langkah yang tegas dan lebar, Angkasa berjalan menghampiri Mayang yang tampak kesusahan berjalan dengan rok panjangnya. Langkah panjang Angkasa mampu mengimbangi langkah pelan Mayang.

"Heh, perempuan!" Suara berat itu seketika membuat Mayang terlonjak kaget.

"Ya ampun, gusti!" Mayang melebarkan matanya, mulutnya pun menganga dan memegang dadanya yang berdegup cepat karena rasa terkejut.

Mayang menatap perawakan Angkasa dengan lekat dan sinis. Wajah tegas, badan tinggi tegap, tatapan mata yang mengintimidasi.

Iishh, preman kampung endi maneh iki batin Mayang menatap sinis Angkasa.

Sementara Angkasa, menyipitkan matanya menatap paras ayu Mayang. Apa lagi, wanita itu tampak begitu rapi dan cantik dengan rambut yang di gulung dan di tusuk dengan tusuk konde. Kebaya yang ia kenakan pun membuat lekuk tubuhnya tampak terbentuk indah. Benar-benar terlihat seperti sosok wanita sempurna secara fisik.

"Perempuan, kenapa kamu jalan sendirian disini?" Tanya Angkasa menunjukkan ekspresi datarnya. Namun terlihat begitu menyeramkan di mata Mayang. Dan suara tegas pria itu, terdengar seperti bentakan di telinga Mayang.

Cakep sih, tapi sayang preman. Pengangguran, pasti mau minta duit buat beli rokok batin Mayang.

"Hhh!" Mayang mengangkat dagunya tinggi-tinggi. Berlagak sombong di hadapan pria yang tak ia kenal itu. Kedua tangannya pun ia lipat di dada dan matanya menatap sombong Angkasa. Membuat mata tajam Angkasa semakin menyipit menatap wanita itu.

"sak karepku! (Suka-suka aku!) Emang koe sopo ngelarang-larang aku mlaku dewean?! (jalan sendirian?!)" Balas bibir pedas Mayang dengan dialek jawanya yang kental.

Meski sudah setahun tinggal di kota, tetapi dialek itu tidak pernah hilang dari lidah Mayang.

Angkasa menghelakan napasnya pelan. Ekspresinya masih tetap saja datar, walau ia sedikit geram. Karena selama ini, tidak pernah ada yang berani berbicara sesombong itu pada dirinya. Apa lagi, seorang gadis muda yang naif seperti Mayang.

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang