Bersabar, mengerti dan mensyukuri. 3 hal yang Mayang lakukan, yang membuat ia bertahan dengan Angkasa hingga saat ini. Ia bersabar akan jauhnya jarak, bersabar menunggu dan bersabar menghadapi sikap datar pria itu.
Ia mengerti akan pekerjaan Angkasa, mengerti akan sifat pria itu, mengerti bahwa seperti inilah jalan yang harus ia lalui bersama pria itu. Walau bagaimana pun, walau selalu disesaki oleh rindu, walau terkadang dibubuhi rasa kecewa, tetapi Mayang tetap bersyukur. Bersyukur memiliki Angkasa yang sungguh menyayangi dirinya, bersyukur memiliki pria yang penuh tanggung jawab, pria yang bersikap dingin tetapi mampu membangun hubungan yang hangat.
Meski di saat ia melahirkan anak pertamanya tidak ada sosok Angkasa di sampingnya, Mayang tahu bahwa pria itu selalu bersamanya. Memikirkannya, mencemaskannya, dan berharap yang terbaik bagi Mayang.
Semampu Mayang, membalas kebaikan pria itu. Pria yang sudah mencukupkan kehidupan mayang beberapa waktu belakangan, pria yang sudah menyekolahkannya, pria yang tidak hanya memberi materi tetapi juga cinta.
Dengan semampunya, Mayang berusaha di proses persalinannya. Mencoba melahirkan anak yang ada di kandungannya. Walau peluh sudah berjatuhan, dada mulai letih karena lelah, urat-urat mencuat karena usaha, mayang tetap berusaha. Hingga si kecil, lahir ke dunia. Si kecil yang menjadi hadiah mayang untuk Angkasa.
"Anakmu laki-laki, nduk," ucap Fatma yang mendampingi Mayang.
Dengan wajah lemahnya itu, Mayang meneteskan air matanya. Ia lebih merasa haru saat pertama kali melihat wajah putranya itu. Di kecupnya kecil sambil tersenyum bahagia.
Cepat pulang, mas. Gendong anak kita segera.
...
Mayang menimang-nimang putranya dengan hati gembira. Ia sudah pulang ke rumah 3 hari lalu dan membawa putranya yang lucu itu bersamanya. Ibu Mayang, Fatma, masih setia mendampingi Mayang. Sementara sang ayah, Tejo, sudah kembali ke kampung tadi pagi.
"Nduk, anakmu di bedong," ucap Fatma menyuruh Mayang.
"Nggeh, buk," jawab Mayang. Iya pun mengambil kain, kemudian mulai membedong bayi mungil yang matanya belum dapat melihat itu.
Bayi mungil itu pun mulai menggerakkan kaki dan tangannya. Wajahnya mulai merengut, menandakan ia akan menangis. Dan benar saja, tangisan pun mulai menggelegar. Menghiasi setiap sudut ruangan.
"Mmmh," Mayang menggendong anaknya dalam gendongan. "..sudah bandel. Matanya saja belum melek, tapi sudah bandel iki. Ndak mau di bedong," gerutu Mayang dengan gemas. Ia menepuk-nepuk bokong anak kecil itu dan menimangnya. Mendekapnya hangat dan mencoba untuk meredakan tangisnya.
Mayang yang dengan rasa sayangnya menimang anak, langsung tertegun begitu ia mendengar suara mobil di depan rumahnya. Ia menggerjap pelan dan menggerutkan dahinya. Kemudian dengan putranya yang masih di gendongan, Mayang bergegas keluar, melihat siapa yang datang.
Senyuman Mayang seketika merekah. Ia melihat mobil putih milik Angkasa telah terparkir di depan rumahnya. "Ah, bapakmu datang," ucapnya pada putranya yang polos itu.
Tetapi, senyuman Mayang luntur seketika dan terganti dengan kernyitan bingung, saat ia melihat seorang wanita turun dari mobil itu. Wanita yang tampak begitu cantik dan berpakaian modist. Dan bersama wanita itu, ia menggendong bayi mungil juga.
"Sopo iku," gumam Mayang penasaran.
Dari kursi kemudi, nyatanya bukan Angkasa yang turun. Melainkan seorang pria yang pastinya Mayang tidak kenali.
Wanita itu menghampiri mayang dengan tersenyum lebar. "Kamu Mayang ya?" Ucapnya dengan ramah.
Mayang tersenyum seadanya. "Nggeh," jawab Mayang menganggukkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Angkasa
RomanceAngkasa. Dari namanya saja, tempatnya begitu tinggi. Tak mampu tangan ini meraihnya. Walau ke bukit manapun ku daki, tetap dia begitu tinggi tak terjamah. Dirinya penguasa, dirinya pelindung, hanya saja.. aku menaruh rasa. Angkasa. Ingin ku gapai...