4. Mayang

10.6K 923 35
                                    

Suasana pedesaan nan asri begitu kental di desa mekar jaya. Angin sepoi-sepoi, udara dingin dan sejuk, hamparan persawahan berudak, serta di kelilingi perbukitan menjadi ciri khas suasana di desa ini.

Tejo, ayah Mayang, terlihat begitu antusias menyambut kedatangan tamunya. Bagaimana tidak, orang besar seperti Angkasa datang ke rumahnya yang sederhana, adalah sukacita besar bagi Tejo.

Tejo langsung menyuruh istrinya Fatma untuk menyuguhkan minuman dan makanan ringan untuk tamunya tersebut.

"Monggo, Komandan," ucap Tejo dengan sopan. Mempersilakan Angkasa dan Juna untuk menikmati suguhan yang sudah tersedia di atas meja.

Angkasa menganggukkan kepalanya dengan sopan. "Terima kasih, pak Tejo." Jawab Angkasa. Angkasa mengambil teh yang sudah di sediakan, kemudian meminumnya sedikit untuk melepas dahaga.

Lalu, ia meletakkan kembali gelasnya dan tanpa mau basa-basi, Angkasa pun memulai bicaranya. "Jadi begini, pak Tejo, kedatangan saya ke sini, adalah memiliki satu tujuan," ucap Angkasa memulai bicaranya.

"..pemerintah mencanangkan untuk memperkuat keamanan di setiap tempat. Berhubung desa Mekar Jaya ini, merupakan salah satu desa yang cukup jauh dari jangkauan kami, kemungkinan kami akan memperkuat keamanan melalui desa ini." Jelas Angkasa.

Tejo menganggukkan kepalanya mengerti. "Nggeh Komandan, di daerah kami iki masih terbilang rawan. Sering pemuda dari desa sebelah, malak kami di tengah jalan. Contoh ne anak lanangku, Lakso, baru kemarin untung hasil jual beras, raib. Di minta paksa sama mereka." Tutur Tejo menyampaikan keluh kesahnya.

Angkasa menelaah keluh kesah Tejo. Ia juga teringat akan wanita yang ia temui tadi. Wanita itu berkata bahwa dirinya tak punya uang, berpikir bahwa Angkasa merupakan salah satu pemuda yang ingin meminta uangnya.

Kesimpulannya, warga desa resah akan keonaran tersebut. Tetapi, tak berdaya untuk melakukan perlawanan. Dan tak memiliki aksi untuk menghentikan perbuatan itu.

"Kemungkinan besar, pemerintah akan melakukan pemerataan pembangunan ke daerah ini, pak Tejo. Dan pula, di daerah sekitar masih rawan terhadap konflik. Kami mencemaskan bahwa hal ini, akan berdampak ke program pemerintah. Bagaimana menurut anda?" Tanya Angkasa.

Tejo menghelakan napasnya. Jujur saja, bertatap muka langsung dengan Angkasa saja, membuatnya gugup. Sekarang, Angkasa malah bertanya bagaimana pendapatnya. Membuatnya jadi panas dingin. Tetapi, ia berusaha semampunya.

"Begini Komandan, saya ndak bisa kasih pendapat banyak. Cuma, dari pengalaman kami, konflik macam iku cukup meresahkan kami sebenare. Contohne saja, anak gadis saya yang sekolah jauh di kota. Saya wedi kalau dia mulih ke desa. Wedi, di jalan kenapa-kenapa." Jelas Tejo sebisanya.

"Terus juga, seperti misalken kami warga ke pasar minggu desa lain, kami kadang wedi kalau desa yang kami lewati iku lagi berkonflik. Takut-takut, batu melayang ke arah kami. Karena, ya.. sudah pernah ada korban di desa kami, Komandan." Ujar Tejo.

Angkasa mengernyitkan dahinya menatap Tejo. "Sudah pernah ada korban? Lalu, kenapa kalian tidak ada yang melapor?" Tanya Angkasa dengan tegas.

Tejo mengusap tengkuknya ragu. "Ngapunten, Komandan, tetapi, kami ndak mungkin melapor. Kan kalau ke markase Komandan, kami harus lewat dari desa mereka juga. Berarti, sama saja kami menghantarkan nyawa. Padahal, markas aparat terdekat, hanya markase Komandan." Jawab Tejo menjelaskan dengan sebaiknya.

"Jujur saja Komandan, setelah banyak konflik yang bermunculan, kami merasa terisolasi di kampung sendiri. Untung saja, kami masih bisa mengusahakan segala sesuatune sendiri di sini." Jelas Tejo.

Angkasa menganggukkan kepalanya setuju. Untuk mencapai markas, sebagai markas aparat terdekat dari desa Mekar Jaya, mereka harus melewati banyak desa. Jika desa yang harus mereka lewati sedang berkonflik, tentu saja, untuk melewati desa tersebut serupa menghantarkan nyawa.

AngkasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang