[2] Start

492 113 172
                                    

Seorang lelaki berparas manis itu tampak duduk sendirian di bibir pantai tak jauh dari kedai sang paman. Tangannya menggenggam cincin milik Kim Nami, tatapannya yang mengarah ke laut tampak kosong. Otaknya hanya dipenuhi oleh Nami dan Nami, lelaki itu... sangat merindukan Kim Nami.

Hatinya bagai dikoyak oleh ribuan belati, dadanya sangat sesak, bahkan ia tidak tahu harus berbuat apa. "Nam, kamu lagi ngapain sekarang? Hubunganmu sama Jeno baik-baik saja, kan?" netranya menatap telapak tangan yang kini ia buka genggamannya. Cincin emas itu seolah menjadi pengobat rindu dirinya kepada sang gadis.

"NANA!!!" 

Atensinya teralihkan oleh suara berat milik sang paman. Gongmin, lelaki itu berjalan menghampiri si Nana yang baru saja berdiri dari posisi sebelumnya. "Kamu ngapain sendirian di sini?" tanya sang paman.

Nana malah meringis sambil menatap wajah sang paman. "Lagi nikmatin alam semesta ciptaan Tuhan yang begitu indah," kekehnya. Sang paman berdecih, tak biasanya si Nana yang cuek dengan hal semesta alam dan segala isinya tiba-tiba mendadak berkata seperti itu.

"Kenapa, Samchon?" Nana dengan senyum asimetrisnya. Sang Paman lantas merangkul pundak si Nana. "Nana-ya, tidak apa-apa kan? Kalau kau tinggal bersama Paman?" Nana terkejut dengan ucapan sang paman yang terkesan aneh di telinganya. Tangannya melepas genggaman tangan sang paman yang masih menempel di pundak kanannya.

"Wae?" Raut wajahnya sedikit berubah, mata bulatnya kini menatap lekat-lekat bola mata sang Paman. Pria itu lantas menggenggam erat dua pundak milik sang keponakan.

"Ibumu dan Jaemin akan pindah ke Seoul. Nenekmu tiba-tiba sakit dan ingin ibumu menemaninya." Mata Nana masih mengamati tiap gerak bola mata sang paman.

"Bagaimana dengan Apartemen keluarga Nana?"

"Kau masih bisa tinggal di sana, tapi ibumu memintaku agar membawamu tinggal di kedai."

Nana mencoba menyamakan kejadian hari ini dengan kejadian yang pernah terjadi di masa lalu. Tapi memang ada hubungannya juga, karena saat dirinya terkapar di rumah sakit, hanya sang paman yang menemaninya hingga ajal menjemput. Belum ada yang berubah.

🐰🐰🐰

Nana berjalan menuju kediamannya dengan langkah tergopoh-gopoh, matanya menyalang saat pemandangan tas koper sudah terjajar rapi di ruang tamunya. Ada satu hal yang mengganjal, yaitu wajah sang ibu yang kini berwarna merah padam dengan mata sembabnya.

"Eomma,"

Wanita paruh baya itu menoleh, lalu menghampiri Nana dengan langkah cepatnya. "Kau sudah bertemu Paman?" Nana mengangguk, air mata sang ibu masih mengaliri pipinya hingga basah.

"Apakah eomma berangkat malam ini?" Pertanyaannya hanya dijawab anggukan oleh ibunya.

"Kamu tidak apa-apa kan? Tinggal di Busan bersama Paman?"

"Gwaenchana... Nana sudah besar, tidak perlu khawatir." Hiburnya.

"Hyung, jangan nakal ya di sana... apalagi sampai godain cewek Seoul. Hehe...," Jaemin lantas menjitak kepala Nana dengan kecepatan supernya. "Kau kira aku sepertimu?" sungutnya.

Yah... memang benar, Jaemin sebenarnya masih dongkol saat mengetahui jika Nana berpacaran dengan Chaerin. Apalagi, Jaeminlah yang mengenal Chaerin lebih dulu. Sepertinya, kata penikung lumayan cocok untuk sebutan adiknya.

"Kau masih marah gara-gara statusku dengan Chaerin ya, hyung?" Sang ibu mendadak tertawa kecil saat menyaksikan anaknya yang tanpa malu membahas wanita dihadapannya. Wanita paruh baya itu sadar, anaknya sudah tumbuh dewasa sekarang.

TURN BACK TIME ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang