Apakah kau percaya takdir? Jika kau percaya, apakah kau yakin saat ada kejadian yang menimpamu adalah benar-benar sebuah takdir? atau kau mendadak merubah opinimu jika kejadian itu hanya sebuah kebetulan?
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Nana terlihat bersemangat pagi ini. Ia bahkan tiada henti-hentinya memandangi pahatan wajahnya di depan cermin sambil menata rambutnya serapi mungkin agar menambah kadar ketampanannya.
"Na, lama-lama tuh kaca bisa pecah gara-gara muak lihat mukamu!" Salah satu teman sekamarnya melemparkan kalimat sarkasan karena lelah mengantri untuk bercermin. Tapi Nana tidak peduli, ini adalah kesempatan emas baginya untuk menarik perhatian Kim Nami. Dan tampaknya, kota ini lumayan bagus untuk melakukan hal yang romantis.
"Selesai," gumamnya, ia pun berjalan meninggalkan kamar sembari melirik jam tangannya yang masih menunjukkan pukul 7 pagi. Begitu tiba di lobi, mata bulatnya mendapati gerombolan pemuda yang tak asing lagi diingatannya. Siapa lagi kalau bukan Renjun, Haechan, Yuqi dan Jihyun. Langkah kaki Nana yang menggema diantara lobi membuat 4 pemuda itu menoleh secara reflek ke arah Nana. Lelaki bernama Nana itu membulatkan matanya. Wajahnya membuat sebuah ekspresi yang seakan mengatakan 'apa yang sedang terjadi?' ketika melihat wajah cemas keempat pemuda itu.
"Na, kok baru muncul sih!" Tegur Haechan dengan muka cemas yang semakin menarik perhatian Nana. "Wae?" Tanya Nana.
"Nami hilang, Na!" Jihyun dengan kepanikannya.
"MWO? Kok bisa?"
"Jadi, tadi tuh kita ngelihat Nami dan Jeno lagi cek-cok di halaman penginapan. Kita sebenarnya nggak mau ganggu, eh pas kita mau samperin ternyata Nami udah lari nggak tahu kemana."
"Ini gara-gara Jeno, nih! Andai dia nggak ngejar, Nami pasti larinya nggak makin jauh. Mana dia buta arah lagi," sahut Yuqi dengan penjelasannya.
Belum sempat anak-anak yang lain melanjutkan cerita, Nana dengan langkah cepatnya pun berlari meninggalkan lobi. Wajahnya tampak khawatir, apalagi Nana sendiri juga tahu jika Nami sangat susah menghafalkan jalanan. Jangankan Incheon yang bukan tempat kelahirannya, di Seoul pun dia selalu mengandalkan internet.
"Nggak di angkat?" gumamnya.
Di sisi lain, di dalam kamar tempat Nami menginap. Jojo tiada henti-hentinya mengamati panggilan masuk di ponsel Kim Nami yang sedang ter-charger. Apalagi panggilan itu berasal dari panggilan orang yang sama sejak ponsel itu pertama kali berdering yaitu Lee Jeno.
Tapi untuk pertama kalinya, ekspresi Jojo tiba-tiba berubah saat layar ponsel itu kembali menyala dengan menampakkan sebuah panggilan. Kini panggilan itu bukan lagi berasal dari orang yang sama. Orang itu adalah sosok yang selama ini sebenarnya membuatnya sedikit terusik karena sikapnya yang terlihat begitu jelas jika tidak menyukainya.
"Nana?"
Jojo pun menyentuh ponsel itu, lalu menjawab telepon dari Nana setelah berdering berkali-kali.