Bagian 7 ( Hasna )

10.1K 429 7
                                    

Kulangkahkan kaki secepat yang aku bisa. Mengabaikan orang lain yang menatapku sendu. Tak peduli rasa sesak yang kian menggerogoti hati, dan rasa sakit yang seolah merobek jiwa, yang membuatku seakan memilih bertahan dan tak bertahan.

Puncak dari kesabaran adalah saat engkau memilih diam. Padahal di hatimu ada luka yang sedang berbicara, dan puncak kekuatanmu adalah saat engkau memilih tersenyum. Padahal, di matamu ada air mata yang terbendung.

Aku wanita yang mencoba kuat merelakan suamiku menikah lagi. Menerima dia untuk membagi cinta dan kasih. Namun, jauh dari lubuk hati seakan ingin menyerah dan tak kuat menjalani.

Akan tetapi, aku sadar bahwa apa yang telah terjadi adalah kuasa-Nya, yang tentu harus mampu dan sanggup aku menjalaninya.

Sabar dan ikhlas. Ya, itu yang kini aku lakukan. Berpasrah dan berserah berharap semuanya akan menjadi indah.

Terima apa adanya, lepaskan apa yang ada, dan percayalah pada apa yang akan terjadi.

Aku yang telah memulainya maka aku pula yang harus menjalaninya. Meski sakit, meski perih tapi memang inilah yang kuputuskan.

Jalan takdir seseorang memang berbeda, tak pernah ada yang sempurna. Hanya ikhlas dan  pasrah yang saat ini kulakukan.

“Mas, aku akan pulang lebih dulu. Kamu disinilah sampai acaranya benar-benar selesai,” kataku tadi saat hendak pergi.

“Kamu di sini saja, Dek. Kita bisa pulang bersama nanti,”

“Tidak, Mas. Ini acaramu, semua orang mengharapmu. Aku akan menunggumu di rumah,”

“Tapi ....” belum sempat melanjutkan aku sudah lebih dulu memotong kalimatnya.

“Tak apa, jangan pikirkan aku. Aku ada di rumah, dan akan menunggumu bersama Farah di sana,” kataku dengan senyum dan berlalu pergi. Tak kudengar lagi dia bicara apa, yang kuinginkan hanya segera untuk pergi.

Ketika sampai rumah pun tak kuasa ingin sekali aku menumpahkan rasa sakitku dengan tetesan air mata, mengadu pada-Nya agar diberikan kekuatannya.

Aku bersimpuh dengan do'a dan tangis yang bersamaan, mengharap diberikan yang terbaik dari semua yang telah terjadi.

“Ya Allah ... kumohon, jika Engkau menghendaki ini hilangkanlah rasa sakit ini. Berikanlah rasa ikhlas yang benar-benar ikhlas padaku,”

“aku mencintainya, dan karena itu pula aku mengikhlaskannya. Kumohon, beri aku kekuatan untuk sekedar menjalani dan melewatinya,”

“jauhkan aku dari rasa sakit dan cemburu yang berlebih, aku ingin damai, aku ingin tenang. Ridhoi aku ya Allah, ... mudahkan aku dalam menerima takdirmu ....”

Kucoba berdzikir dan terus bermunajat pada-Nya, berharap rasa ini akan hilang dan tergantikan dengan ketenangan. Hingga tak terasa akhirnya aku pun tertidur.

Entah mengapa dalam tidur tiba-tiba Fahmi datang, seolah menjawab akan rasa dan kegundahanku. Dia datang padaku dengan senyum tersungging, juga wajah yang terlihat teduh dan damai.

“Fahmi?” tanyaku dalam mimpi. Akan tetapi, dia tak menjawab dan hanya tersenyum sambil menganggukan kepala.

“Kenapa kamu ada di sini? I-istri kamu—” belum sempat aku melanjutkan, Fahmi sudah memotong kalimatku.

“Terima kasih, aku titip Farah padamu juga pada Bang Fariz. Kumohon, terima dia dengan baik,”

“Tapi ... mengapa kamu ninggalin dia, dan malah meminta Mas Fariz menikahinya?”

“Ini sudah takdirku. Dan, semua itu hanya Bang Fariz yang akan menjawabnya,”

“A-apa maksudmu? Mas Fariz? Kenapa dia? Bu-bukankah semua ini karenamu?”

Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang