Aku terharu, saat Mba Hasna istri pertama Bang Fariz berbicara padaku kalau dia rela berbagi suami denganku. Kebaikan dan ketulusan hatinya membuatku merasa bersalah. Aku merasa telah menjadi duri dari pernikahannya, atau mungkin perusak kebahagiaan rumah tangganya. Walaupun aku sangat yakin meski dia berkata ikhlas dan rela berbagi suami, namun jauh dari lubuk hatinya mungkin Mba Hasna juga merasakan sakit yang amat sangat. Sejatinya, tidak akan ada istri manapun yang mau dimadu atau diduakan oleh suaminya. Namun, karena ketegaran dan keluasan hatinya yang mampu membuat dirinya mampu melakukan ini.
Rasa kantuk tiba-tiba menyerangku setelah Mba Hasna keluar dari kamar, kepalaku terasa pusing, mungkin karena semalaman kemarin tidak bisa tidur dan terlalu memikirkan tentang pernikahanku dengan Bang Fariz. Karena merasa tak kuat lagi, akhirnya kurebahkan diriku ini di atas tempat tidur hingga melupakan ucapan Mba Hasna yang akan meminta Bang Fariz untuk tidur di kamarku. Aku tahu ini adalah malam pengantinku, namun dengan keadaanku yang seperti ini rasanya tak akan ada kata malam pengantin. Apalagi, aku juga masih merasa canggung dengan Bang Fariz, tentu sangat mustahil bila aku dan Bang Fariz melakukan sesuatu dimalam pengantin ini.
“Ya Allah, kenapa malah semakin pusing kepalaku. Badanku juga demam dan menggigil,” Ucapku sambil memejamkan mata dan mengeratkan selimut untuk membuatku nyaman, hingga tak terasa kini aku tertidur.
Dalam tidur aku bermimpi melihat Bang Fahmi yang tengah berdiri di sebuah taman dengan pandangan mengarah padaku. Dia tersenyum, senyum hangat yang selalu aku rindukan sejak enam bulan ini. Menggunakan pakaian serba putih dengan raut wajah yang terlihat lebih segar membuatnya nampak lebih tampan dan berbeda. Tidak terlihat seperti orang sakit, atau seperti dulu saat aku merawatnya ketika sakit. Dengan perasaan senang aku pun berlari untuk menghampirinya, memeluknya meluapkan rasa rindu yang telah membuncah.
“Dek, terima kasih, aku senang karena kamu sudah mengabulkan permintaanku,” ucapnya sembari mengusap puncak kepalaku. Aku pun mendongak untuk menatapnya. Manik mata kami beradu, namun aku melihat seperti ada kesedihan di sana.
“Aku sudah berjanji padamu, Bang. Aku tak ingin membuatmu kecewa, dan demi kamu aku rela melakukan apapun. Apa Abang bahagia?” balasku seraya menelisik raut wajahnya yang sedikit berbeda.
“A-aku, aku bahagia. Sangat bahagia,” katanya meski dengan suara yang seperti gugup. Aku tahu, aku kenal Bang Fahmi, dan aku merasa kalau Bang Fahmi seperti menyembunyikan perasaannya. Aku bisa melihat dari sorot matanya jika di sana ada kesedihan.
Apa Bang Fahmi tidak bahagia? Lalu, mengapa dia memintaku untuk menikah lagi jika memang dia merasa tidak bahagia?
“Tapi aku tidak. Aku masih mencintaimu, Bang. Lagipula, ada Mba Hasna dan aku merasa tak enak padanya. Karena aku, dia harus rela berbagi suaminya,” kataku bicara sejujurnya. Namun, Bang Fahmi malah tersenyum dan melepaskan pelukanku.
“Kamu jangan khawatir, Dek. Percayalah, suatu saat nanti kamu akan mengerti mengapa abang memintamu menikah dengan Bang Fariz. Sekarang, abang adalah masa lalumu, dan Bang Fariz adalah masa depanmu,”
“Tapi Bang,”
“Ssstt ... kamu akan mencintainya, perasaan cintamu itu akan tumbuh lebih besar melebihi cintamu pada abang. Meski sekarang kita berpisah, tapi yakinlah cinta abang sama kamu akan selalu ada. Kamu cinta pertama dan terakhir abang, Dek. Mulai sekarang cobalah buka hatimu untuknya, belajarlah untuk mencintainya, dan mengabdilah padanya. Abang ikhlas melepasmu,” ucapnya yang membuatku menitikkan air mata.
“Bang,” ucapku lirih.
“Berbahagialah ... abang akan bahagia jika melihatmu bahagia,”
“Bang, ... aku hanya ingin bersamamu,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)
RomansaPoligami? Ya, poligami, sebuah kisah poligami yang memang tidak semua orang sanggup menerima dan melakukannya. Tentunya, karena apa yang dijalaninya tidak semudah mengucapkan namanya. Tiga tokoh dalam cerita ini juga memiliki karakter yang berbeda...