Bagian 10 (Hasna)

10.1K 478 20
                                    

“Kamu udah bangun, Dek?”
“Alhamdulilah... akhirnya kamu bangun juga.”
“Mas takut kamu kenapa-napa. Kenapa bisa tidur disini, Dek?”
“Kamu buat Mas panik, sayang.”

Nada suaranya sarat akan rasa khawatirnya padaku, terdengar beberapa kali hembusan nafas leganya ketika aku dilihatnya telah bangun.

Dia menciumiku terus menerus dan mendekapku begitu erat. Tak berhenti pula dia mengucap syukur saat aku masih dalam keadaan baik-baik saja. Padahal nyatanya aku tak sedang baik-baik saja, aku hancur, aku terluka.

Air mata pun telah menggenang dipelupuk mata yang dengan segera aku hapus agar tak terjatuh. Dia meraihku menggendongku dan membawaku keatas ranjang, merebahkanku dengan hati-hati dan membelai rambutku dengan lembut.

Laki-laki ini, pria ini  yang dulu membuat hidupku selalu berwarna, selalu membuat aku bahagia. Tapi kini, seolah semuanya lenyap. Seolah hanya kesedihan yang mungkin akan terus aku dapatkan. Membuat nafasku rasanya semakin sesak, membuat hatiku semakin berdenyut nyeri.

Mengapa kamu tak jujur padaku?
Mengapa aku harus tahu kenyataan ini disaat dia telah resmi menjadi milikmu? Disaat aku telah ikhlas menerima kehadirannya? Kamu mencintai dia dan kamu tak pernah bilang kalau dia adalah cintamu! 

“Kamu panas, Dek...”
“Apa ada yang sakit? Katakan pada Mas apanya yang sakit?”
“Atau... atau ini gara-gara kamu kelelahan ya?”
“Sudah Mas bilang, lebih baik kamu banyakin istirahat saja dirumah. Jangan terlalu banyak menerima job untuk mengisi undangan diluar.”
“Mas gak mau kamu sakit.” cerocosnya terus menerus sembari tangannya dengan terampil memijat kakiku.

Kosong. Pandanganku kosong padanya. Aku menatapnya, tapi aku tak menanggapi apa yang dikatakannya.

Diam. Aku pun diam tak membuka suara sepatah katapun. Ingin ku menjawab apa yang kamu tanyakan ‘Apakah aku sakit? Apanya yang sakit?’ jelas saja jika aku mampu aku akan menjawab dan menunjuk kalau hatiku lah yang sakit.

Tapi, tidak! Aku tidak mampu walau hanya menggerakan tanganku untuk menunjuk letak hatiku. Aku benar-benar tak mampu. Semuanya terasa kaku. 

“Jangan diam terus Dek, jika kamu sakit katakanlah apanya yang sakit, aku akan mengobatimu. Kalau perlu aku akan memanggil dokter untuk datang kesini memeriksamu.” sekali lagi dia berucap, setelah cukup lama aku abaikan.

Aku terus melihatnya menatapnya meski sulit kupercaya dengan keadaan yang telah nyata, keadaan yang seakan terus mencubit dan mengoyak hatiku. Lelaki tampan, lelaki sholeh, lelaki yang selalu menjadi yang terbaik untukku. Tapi kini, lelaki ini, dia telah berubah menjadi lelaki yang seolah akan terus menabur racun pada setiap sudut hatiku. Sesekali akupun mengalihkan pandanganku pada langit-langit kamar, hanya untuk menahan genangan air mata. Aku tak ingin menangis dihadapannya.

“Kamu habis menangis?” ucapnya setelah lama mengamati wajahku yang mungkin terlihat berbeda.
“Kenapa?”
“A-apa ini karena aku bersamanya?” tanyanya lagi meskipun kali ini suaranya terdengar pelan.

Dia mengulurkan tangannya mengusap lembut bagian mataku yang terlihat sembab, matanya lekat menatapku. Pandangannya berubah redup saat menyadari kalau kini aku tak sebaik yang dia lihat.

Aku pun tak kuasa hingga setetes bening berhasil meluncur dari mataku, namun dengan segera aku hapus kembali. Aku tak ingin terlihat lemah dimatanya. Aku tak ingin dia mengasihaniku hanya karena dia tahu aku mencintainya.

Baru saja aku membuka mulut untuk mengatakan apa yang di khawatirkannya, tapi suara ketukan pintu dan seseorang yang kini masuk dan berjalan menuju kearahku membuat aku kembali mengatupkan mulutku.

Perempuan cantik yang berhati baik dan bersikap lembut, membuat lelakiku mencintainya. Membuat dia sulit melupakannya. Aku pun semakin yakin mungkin diluar sana semua lelaki yang mengenalnya akan menaruh hati padanya.

Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang