Waktu terus berlalu, hari berganti hari, dan minggu berganti minggu, hingga bulan pun berganti bulan. Rasa sesak dan sakit yang dulu menyelinap kini semakin terkikis dengan kebersamaan yang kian menjadi terbiasa.
Suamiku, maduku, dan aku. Kami selalu bersama walau kesibukkan yang seolah mencoba memberi jarak untuk memisahkan, namun tak hayal justru membuat kami menjadi semakin berusaha untuk menggerusnya agar kebersamaan ini tetap selalu terjaga.
Hatinya hanya satu, tapi aku yakin dia dapat membaginya meski sangat mustahil. Karena sesungguhnya satu hati akan dipasangkan dengan satu hati lagi, bukan satu hati dipasangkan dengan dua hati lainnya.
Farah. Dia istri yang baik dan penurut, sesuatu dalam dirinya yang membuatku dapat menerimanya. Meski jelas kulihat dia masih mencintai mendiang suaminya, tapi dengan kerasnya dia mencoba ikhlas dan menerima permintaan tak masuk akal ini. Aku pun sama, dengan kerasnya mencoba melunakkan hati agar mampu menerima keadaan ini. Walau harus berperang dengan sebuah perasaan yang jelas sulit untuk diajak kompromi. Tapi bersyukurlah, karena waktu yang ternyata mampu menjadi penyembuh luka hatiku.
Tepat tiga bulan ini aku mempunyai teman yang dapat bahu membahu untuk menjaga dan merawat suamiku. Kita berdua seolah menjadi partner yang saling melengkapi untuk memberikan yang terbaik bagi suami kita.
Mas Fariz. Entah mengapa aku melihat seolah dia sudah mengenal Farah sejak lama, dia seperti tahu apa yang disukai dan tidak disukai istri keduanya. Mas Fariz yang pendiam, Mas Fariz yang terkesan selalu cuek, dan Mas Fariz yang biasanya dingin dengan orang baru. Akan tetapi, ketika beberapa hari setelah pernikahannya seolah semua dalam dirinya hilang untuk seorang Farah yang menurutku baru di dalam hidupnya.
Dia menjadi banyak bicara, merespon dengan sangat baik setiap hal yang diutarakan Farah, dan menjadi orang yang kalem jauh dari kata dingin.
"Mas, aku boleh tanya sesuatu?" kataku sesaat sebelum semalam kami tidur.
"Boleh, ada apa Dek?" balasnya yang langsung menghadapkan posisinya padaku.
"Emm ... anu, apa selama pernikahan kamu kemarin, sebelumnya kamu sudah mengenal Farah?"
"Mengenal Farah?" ulangnya dengan dahi yang mengkerut.
"Ya. Emm ... maksudku, apa Mas sudah lama mengenal Farah?"
"Oh, dia kan dulu adik Iparku Dek. Yaa, aku mengenalnya karena dia sebelumnya adik iparku," jawabnya setelah beberapa saat sebelumnya dia menjeda.
"Hanya sebatas itu? Maksudku, hanya saat itu saja?" tanyaku lagi yang mungkin membuat dia bingung.
"Iya, memangnya ada apa Dek? Apa ada sesuatu lain yang mungkin aku tidak tahu?"
"Tidak ada apa-apa kok Mas, hanya saja aku perhatiin kamu kaya udah lama tahu Farah. Bahkan, kamu tahu apa yang disukainya dan hal apa yang membuat dia tidak menyukainya,"
"Er ... benarkah?"
"Iya Mas ... padahal, setahuku kamu itu orangnya irit bicara dan cuek, malah terkesan dingin gitu, seperti dulu saat awal-awal kita habis nikah juga cukup lama kamu dengan sikapmu kaya gitu ke aku. Tapi ketika dengan Farah, baru terhitung hari menikah sudah akrab banget," jelasku yang membuatnya sedikit terkejut untuk beberapa saat.
"Masa sih, Dek? Hmm ... aku kayanya lupa deh," katanya dengan senyum seraya mencubit gemas hidungku.
"Oh iya, boleh aku tanya lagi?"
"Tanya aja sayang, gak usah bilang dulu pasti langsung aku jawab," ucapnya dengan mengusap pipiku lembut.
"A-apa kamu udah pernah melakukan itu dengannya? Maksudku, nafkah batinnya?" ucapku yang dengan sangat jelas membuatnya gusar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)
RomancePoligami? Ya, poligami, sebuah kisah poligami yang memang tidak semua orang sanggup menerima dan melakukannya. Tentunya, karena apa yang dijalaninya tidak semudah mengucapkan namanya. Tiga tokoh dalam cerita ini juga memiliki karakter yang berbeda...