"Aku menceraikanmu, Hasna. Aku melepasmu!"
Ce-ra-i?
Untuk sesaat aku terdiam dengan bibir bergerak lambat mengikuti ucapannya. Berusaha mencerna akan apa yang dia katakan. Namun, saat kata itu meresap hingga melebur sampai ke otak dan seketika itu juga tangisku pecah. Aku tak menyangka dengan apa yang kudengar saat ini.
Dia tidak mungkin menalakku!
Tidak. Itu tidak mungkin. Mas Fariz tidak mungkin mengatakan itu padaku!
Aku tidak percaya. Aku benar-benar tidak percaya.
Tubuhku limbung ke belakang dan perlahan merosot hingga ke lantai. Aku merasa separuh dari jiwaku hilang dengan dunia yang seakan runtuh menghantam. Hatiku hancur-lebur seperti kepingan luka yang tak lagi berbentuk, semuanya menjadi satu layaknya aliran darah yang kini berpacu ke mata dan deras mengeluarkan bulir beningnya.
Ini tidak benar bukan? Ini tidak nyata bukan?
Mas Fariz tidak mungkin mengatakan itu padaku. Dia tidak mungkin menceraikanku. Aku istrinya. Aku istrinya yang sudah mengabdikan bertahun-tahun hidupku hanya untuk dirinya.
Tolong ... siapapun, tolong katakan kalau ini tidak nyata. Mas Fariz tidak menceraikanku. Dia mencintaiku. Dia berjanji akan selamanya bersamaku!
Tolong ... yakinkan aku, kalau yang kudengar tadi salah. Aku sudah salah mendengarnya. Ya, aku sudah salah mendengarnya!
Tolong ... aku tidak kuat. Aku tidak mungkin kuat jika kenyataan menyakitkan itu benar-benar terjadi.
Aku mencintainya. Sangat mencintainya. Bahkan aku rela membiarkan dia menikahi wanita lain yang nyatanya adalah belahan jiwanya.
Ini tidak benar. Mas Fariz tidak mungkin menceraikanku. Dia mencintaiku. Dia sudah mencintaiku!
Jerit tangis hingga isakan masih terus keluar dari mulutku. Mengalun merdu meluapkan kesakitan yang kini benar-benar membuat sesak hingga mengoyak hatiku.
"Kamu tidak mungkin mengatakan itu padaku, Mas. Kamu sudah berjanji," lirihku tak berdaya dengan tangis yang tak bisa kubendung.
"Kamu mencintaiku. Kamu sudah jujur jika kamu sudah mencintaiku. Ini tidak benar. Ini tidak mungkin," sangkalku yang masih tidak percaya. Bahkan kepalaku terus menggeleng menolak untuk membenarkan apa yang telah kudengar.
"Katakan, Mas. Katakan kamu tidak benar-benar mengatakan itu. Katakan, kalau aku sudah salah mendengarnya. Katakan, Mas," racauku dengan pandangan mengarah padanya. Melihatkan rasa sakit dan betapa hancurnya diriku.
Namun, yang kulihat dirinya masih bungkam dengan kedua matanya yang terpejam. Dia tidak melihatku. Sama sekali tidak.
"Kamu jahat, Mas. Kamu jahat!" teriakku lemah. Rasanya tubuhku begitu lemas. Tak lagi bisa berontak untuk menuntut jika semua yang dikatakannya tidaklah benar.
"Istighfar sayang, istighfar," ucap Bude berkali-kali mencoba untuk menenangkanku yang masih terisak dan terpukul.
"Ini tidak mungkin. Ini tidak mungkin ...," jeritku meluapkan rasa kecewa yang tidak kutahu seberapa dalam rasanya.
"Sabar, Nduk. Sabar ...," lagi, suara Bude tak hentinya untuk membuatku tenang.
Akan tetapi, aku tidak bisa tenang. Aku tidak bisa untuk segera meredakan tangisku. Ini terlalu sakit. Sangat sakit.
"Bude, katakan Bude, kalau semua ini tidak benar. Katakan kalau apa yang kudengar tadi tidak nyata. Tolong, Bude, katakan," balasku dengan suara lirih bergetar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)
RomansaPoligami? Ya, poligami, sebuah kisah poligami yang memang tidak semua orang sanggup menerima dan melakukannya. Tentunya, karena apa yang dijalaninya tidak semudah mengucapkan namanya. Tiga tokoh dalam cerita ini juga memiliki karakter yang berbeda...