Bagian 3

12.7K 589 12
                                    

Dalam hidupku tak pernah terpikirkan akan menjadi orang ketiga untuk hubungan orang lain, namun karena takdir yang mengharuskanku maka aku tak bisa mengelak untuk menjadi bagian itu.

Setiap hari aku hanya bisa menyaksikan keharmonisan dua orang yang saling mencintai, dan mengasihi. Mereka bagitu damai menjalani kisah hari-harinya meski sudah ada aku yang masuk ke dalam kehidupan mereka.

Tak pernah lagi aku melihat Mba Hasna menangis, malah kini dia semakin baik padaku, menganggap aku layaknya seperti adiknya sendiri. Begitu juga dengan Bang Fariz yang selalu menunjukkan rasa pedulinya padaku layaknya seorang suami pada istrinya. Hanya saja, aku masih menjaga jarak dengannya. Entah mengapa sosok Bang Fahmi masih sulit digantikan, walau hampir tiap aku bermimpikannya dia selalu mengatakan “Aku sudah ikhlas, Dek. Berbahagialah ....”

Hh ... sungguh aku tak tahu harus bersikap bagaimana, aku juga masih merasa sungkan pada Mba Hasna takut kalau menyakiti hatinya lagi jika benar-benar dekat dengan Bang Fariz.

“Farah ... nanti sore mba mau ada pengajian dirumahnya Bu Sari, apa kamu mau ikut?” suara Mba Hasna menyadarkanku akan lamunan yang sedang kulakukan barusan, hampir saja aku terlena dalam lamunanku.

Mba Hasna juga seorang Ustadzah yang seringkali diundang sebagai tamu untuk mengisi sebuah acara pengajian.

“Ehmm ... apa tidak apa-apa Mba jika aku ikut? Maksudku, aku kan belum kenal Bu Sari dan beliau tidak mengundangku,”

“Ya enggak dong, Far. Lagian Bu Sari juga orangnya baik, dia bahkan selalu meminta mba mengajak orang lain yang mba kenal untuk menghadiri acara pengajiannya. Jadi, kamu ikut aja yaa? Sekalian nemenin mba,”

“Baiklah Mba aku ikut, sekalian aku juga ingin menambah ilmu. Apalagi Mba sebagai pengisi acaranya, pasti itu sangat menyenangkan,” kataku sembari mendekat kearahnya dan memeluk bahunya. Sungguh, sosok Mba Hasna ini sangat cocok untuk menjadi teman, sahabat bahkan kakakku. Dia begitu baik.

“Hmm bisa aja kamu, Far. Tapi mba juga senang karena sekarang mba merasa benar-benar punya teman sekaligus adik yang selalu menemani mba selain Bang Fariz,” katanya sembari mengelus lembut lenganku.

“Makasih ya Mba, Mba sangat baik padaku. Sungguh beruntung aku bisa mengenal Mba, namun aku juga minta maaf karena mungkin seharusnya kehadiran aku di sini bukan sebagai sekarang ini. Aku selalu merasa bersalah pada Mba juga Bang Fariz,” kataku dengan bulir bening yang sudah menggenang di pelupuk mata. Aku sedih tapi aku juga terharu.

“Husst ... jangan bilang begitu, aku sudah benar-benar ikhlas menerimamu. Dan aku tak pernah menyalahkanmu untuk hal ini, bukankah aku sudah pernah bilang? Jadi, jangan pernah lagi merasa bersalah seperti ini yaa ....” ucap Mba Hasna sambil menyeka air mata yang kini telah menetes di pipiku.

Aku pun hanya menganggukkan kepala untuk menjawabnya, rasanya lidahku benar-benar kelu hingga tak mampu mengeluarkan kata-kata lagi jika sikap Mba Hasna selalu seperti ini padaku.

*****

Satu jam lagi aku dan Mba Hasna akan berangkat. Aku pun sudah bersiap-siap dengan menggunakan gamis warna merah muda dan juga khimar warna senada. Tak lupa kusisipkan buku catatan juga pulpen ke dalam tas jinjing yang akan kubawa. Siapa tahu ada hal-hal penting dari isi pengajian itu yang harus kutulis agar selalu ku ingat.

Setelah kurasa semuanya cukup, aku hendak keluar kamar untuk menunggu Mba Hasna yang mungkin sedang bersiap-siap juga. Namun belum sempat kaki melangkah, ada Bang Fariz yang kini masuk kedalam kamar.

“Sudah mau berangkat?” tanyanya padaku dan segera aku mendekat untuk mencium tangannya. karena Bang Fariz juga baru pulang dari kantornya.

“Iya, Bang. Hari ini aku ikut Mba Hasna ke pengajian. Apa boleh?” balasku dan sekalian meminta izin. Sebenarnya tadi setelah Mba Hasna mengajakku, aku juga langsung mengirim pesan ke Bang Fariz untuk meminta izinnya, namun pesanku pending dan tidak ada balasan tentunya.

Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang