Bagian 32 (Farah)

1.1K 86 35
                                    

“Dan sebelum itu terjadi, kau harus rela menanggung apa yang dulu telah disepakati suamimu, Fahmi!” 

Seketika, aku menutup mulutku. Aku merasa tak percaya dengan apa yang telah kudengar. Bang Fahmi? Apa kiranya hubungan orang-orang ini dengan mendiang suamiku? Apa yang telah disepakatinya hingga harus melibatkan diriku?

Sejenak, aku merasa kepalaku sedikit berputar. Aku masih tidak percaya dengan kalimatnya yang mengatakan jika Bang Fahmi ada hubungannya dengan penculikan diriku.

“Tidak mudah untuk kau bisa keluar dari sini! Kau harus mempertanggung jawabkan apa yang dulu suamimu lakukan!” ucap orang itu yang didengar waspada olehku.

“A-apa maksudmu?” balasku pelan bahkan nyaris seperti bisikan. Aku takut, tapi aku juga penasaran. Aku ingin tahu ada apa di balik semuanya ini.

“Kau sudah pernah bertemu denganku. Apa kau ingat?” jawab orang itu disertai senyum meremehkan.

Bertemu dengannya? Dahiku mengkerut,seolah tengah menggali ingatan yang memang mungkin sudah kulupakan.

Namun, sia-sia, karena aku sama sekali tidak ingat jika pernah bertemu dengannya. Aku bahkan menggeleng, sebagai tanda bahwa diriku memang tidak ingat sama sekali.

“Tiga tahun yang lalu di sebuah dermaga. Apa kau ingat?” kembali orang itu berbicara dengan pandangan menghunus langsung padaku. Memberi rambu-rambu agar aku sedikit mengingatnya.

“Dermaga? Dermaga? Dermaga?” Aku terus meracau dengan suaraku yang pelan.

Dermaga? Tiga tahun lalu?

Aku memejamkan mata dengan ingatan yang melesat melayang pada kejadian tiga tahun lalu.

“Kau tengah bersama suamimu, masih lupa?” lanjut orang itu lagi yang seakan tahu jika aku cukup kesulitan mengingatnya. Hingga beberapa detik berlalu, akhirnya aku baru mengingatnya.

Ya, tiga tahun lalu di sebuah dermaga. Saat itu, aku memang diminta Bang Fahmi untuk ikut pergi menemani suamiku. Bang Fahmi sempat memohon, dan memintaku agar sekali saja menuruti keinginannya untuk mengunjungi sebuah tempat yang dulu pernah menjadi traumaku. Tempat yang memisahkan aku dengan orang tuaku. Tempat dimana aku harus memulai hidup sebatang kara tanpa siapa pun.

Di sebuah dermaga, aku terus menggayut lengan Bang Fahmi. Aku tak hentinya menyerukan ketakutanku akan masa lalu tempat ini. Hingga tanpa sadar, aku melihat ada beberapa orang berpakaian cukup formal menghampiri kami.

Saat itu, tepat ketika orang-orang itu mendekati kami, aku merasa jika ada sesuatu yang tak beres terjadi. Terbukti, karena Bang Fahmi dengan tiba-tiba merangkul pinggangku erat dan merasa jika suamiku itu sedikit tegang saat berhadapan dengan mereka.

“S-siapa orang-orang itu, Bang?” ucapku pada Bang Fahmi ketika itu.

Namun, Bang Fahmi hanya menatapku sekilas tanpa menjelaskan siapa orang-orang yang kini berada sangat dekat dengan kami ini. Hingga sesuatu yang diambil dari balik jaket kulit hitamnya terulur begitu saja padaku.

“Bukan siapa-siapa. Pakailah ini, Dek. Sebisa mungkin kamu alihkan perhatianmu pada tempat sekitar selain mereka, tapi tetap di sini dan jangan pernah melangkah jauh dari Abang.” balasnya menjawab pertanyaanku seraya menyerahkan sebuah headseat yang di dalamnya sudah disetel alunan musik cukup keras.

Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang