~Melepaskan seseorang yang kita cintai itu menyakitkan, tetapi pada akhirnya kita mungkin akan menyadari bahwa itu adalah yang terbaik. ~
_________________________________"Aku tunggu surat perceraian darimu, Mas. Terima kasih!"
Tidak ada yang lebih sakit ketika melihat lelaki yang kita cintai bersedia menyetujui akan sebuah perpisahan. Sama sekali tidak menyangka jika rasa sakit itu akan lebih sakit dari segala yang telah aku rasakan. Sungguh.
Marah, kesal, sedih, dan emosi itu tak hentinya berkecamuk memenuhi dada. Bulir bening pun bahkan tak hentinya menetes membasahi wajah. Hancur. Tidak ada lagi yang bisa dipertahankan. Bahkan, kepingan hati yang kemarin berangsur membaik tapi kini malah kembali berserak hingga tak tentu arahnya.
Bercerai. Satu kata itu ternyata sudah merenggut sebagian jiwaku. Aku merasa hampa, dan hidupku tak lagi terasa berarti.
Jujur, aku sempat ragu, dan berharap jika laki-laki yang bertahun-tahun hidup bersamaku itu akan bersikeras untuk menolak semuanya. Akan tetapi, ternyata aku salah. Karena nyatanya laki-laki itu hanya pasrah dan merelakan begitu saja keinginan untuk berpisah.
Aku pikir Mas Fariz akan tetap memaksa agar kita berdua kembali bersatu. Aku pikir Mas Fariz akan tetap bersikeras mengejarku kalau dia benar-benar mengharapkanku untuk kembali. Namun, di luar dugaan ketika lelaki itu malah mengangguk menyetujui apa yang diriku ucapkan. Tidak lagi berusaha mempertahankan dan malah langsung mengiyakan.
Ingin aku menjerit lalu meluapkan segala kekesalan. Hatiku terasa tercabik saat dengan mudahnya lelaki itu tak lagi berniat menentang. Seharusnya, Mas Fariz peka dan tetap teguh untuk terus mempertahankan hubungan, bukan malah mengangguk dan menyetujui keinginan palsu yang sebenarnya aku ciptakan.
Jujur saja, aku merasa senang saat Mas Fariz bilang kalau lelaki itu merindukanku. Saat lelaki itu bilang jika dia tidak bisa hidup tanpaku. Namun, setelah ingatanku berputar pada kejadian beberapa waktu lalu malah membuat aku kembali terluka dan menganggap bahwa Mas Fariz hanya membual semata. Mas Fariz, lelaki itu benar-benar kembali mengucap talak untuk mengakhiri semuanya. Mengakhiri segala ikatan yang dulu dirajut dengan penuh harapan.
•••••
Dua minggu berlalu berada di rumah yang sama. Hanya berbeda kamar dan lantai yang memisahkan kita. Aku menempati kamarku yang dulu dipakai bersama Mas Fariz. Sedangkan Mas Fariz berada di paviliun yang tadinya sempat kupilih untuk kutinggali. Akan tetapi, Mas Fariz memaksaku agar tidak tinggal di sana, karena menurutnya paviliun bukan tempat yang nyaman untukku hingga beberapa waktu ke depan. Mas Fariz mengalah, lalu membiarkan dirinya sendiri yang lebih baik pindah.
Setiap hari, setiap sudut kamar ini tak berhenti membuatku merasa nyeri. Terlalu banyak kenangan yang rasanya tak sanggup aku ungkapkan. Bahkan, aku sampai menyalahkan diriku sendiri. Mengapa aku tak bisa bertahan dan bersabar dengan segala rintangan?
Setiap hari, aku selalu mencoba menghibur diri dengan berjalan mengitari sudut rumah. Taman belakang yang menjadi tempat favoritku menghabiskan waktu ketika dulu, kini selalu tak luput mejadi tempat yang paling sering kukunjungi. Ada rasa sedih dan kehilangan yang rasanya tak bisa kujabarkan.
Dan setiap hari, entah mengapa aku selalu tak melewatkan satu tempat yang ada di rumah ini. Tempat yang seharusnya tidak kulihat disaat keadaanku seperti ini. Hanya saja, entah mengapa hampir setiap hari kakiku selalu melangkah ke sana tanpa bisa kucegah. Mataku selalu berpendar hingga ke sekelilingnya. Dan ketika rasa sakit itu datang barulah aku sadar hingga segera pergi menjauh.
Selama dua minggu, waktu berjalan sangat tidak mudah. Kita hidup seperti orang asing, aku bicara seperlunya, dan bertemu hanya saat waktu makan tiba. Namun, tetap saja selalu menghadirkan rasa nyeri yang tidak terkira. Apalagi, saat dengan jelas aku melihat Mas Fariz yang begitu sibuk dengan urusannya. Urusan yang tentu saja berkaitan dengan istri mudanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)
RomantizmPoligami? Ya, poligami, sebuah kisah poligami yang memang tidak semua orang sanggup menerima dan melakukannya. Tentunya, karena apa yang dijalaninya tidak semudah mengucapkan namanya. Tiga tokoh dalam cerita ini juga memiliki karakter yang berbeda...