Aku tahu apa yang ada di benak Hasna. Aku pun tahu apa yang memang diinginkannya. Tapi, aku hanya ingin memastikannya. Aku ingin tahu jika apa yang dikatakannya memang tidak sama dengan apa yang ada dalam isi hatinya.
Dan semua itu terbukti. Jika Hasna memang tidak bersungguh-sungguh ingin berpisah denganku. Ia hanya kecewa. Ia hanya kecewa dengan keputusanku. Itu saja.
"Kamu pun tahu, Dek, apa yang membuatku bimbang hingga sulit untuk mengabulkan pintamu. Kamu jelas tahu. Bukankah, dulu kamu sudah memikirkan dampaknya sebelum benar-benar mengizinkanku menikahinya?" kataku membalas ucapannya.
"Mas ...." ucapnya yang hendak menyelaku. Tapi dengan cepat ku angkat tanganku memberi isyaratnya untuk berhenti.
Hingga beberapa saat yang terjadi hanya keheningan. Tak ada yang bicara. Tenggorokanku terasa berat hingga rasanya sulit sekali untuk kembali berkata.
"Aku selalu mengertimu, bahkan aku selalu mendahulukanmu apapun itu. Aku juga tahu jika kamu tak ingin berpisah denganku. Tolong pahami aku, Dek. Mengertilah, karena sekarang aku bukan hanya milikmu. Aku tidak bisa menjadi seutuhnya milikmu. Tanggung jawabku terbagi antara kamu, dan ... dia," ucapku padanya.
Kulihat Hasna menatapku, raut sedihnya terpancar dan nampak tak suka dengan apa yang aku katakan. Tapi, memang itu kenyataannya bukan?
"Kalau begitu ceraikan aku, Mas. Talak aku jika memang kamu tak bisa lagi untuk-,"
"Cerai? Talak? Bagaimana mungkin kamu meminta itu dariku? Kamu bahkan tahu jika hal itu takkan pernah aku lakukan padamu. Aku sering katakan itu!" timpalku lagi dengan hembusan napas yang begitu berat.
Aku tak habis pikir jika Hasna akan terus memintaku untuk menceraikannya. Padahal dia tahu sendiri jika dari dulu aku sering mengatakan kalau aku takkan pernah melakukan itu padanya. Ya, tidak akan pernah.
Aku sudah berjanji akan selalu bersamanya. Apalagi setelah yang terjadi padanya tiga tahun lalu. Aku takkan membiarkannya sendiri. Aku tak ingin apa yang menjadi ketakutannya benar-benar jadi kenyataan.
"Lalu apa, Mas? Apa kamu hanya ingin melihatku terus merasakan sakit? Apa kamu ingin buat aku mati perlahan karena kesakitan yang kamu lakukan? Tidak, Mas. Aku jelas tidak ingin seperti itu." balasnya lirih.
Dan kini, mulutku mendadak bungkam. Lidahku begitu kelu untuk menyangkal atau memberi penjelasannya. Karena yang dikatakannya memang seperti itu adanya. Ya, Hasna selalu merasa sakit, dan akulah penyebabnya.
Akan tetapi, aku tidak ingin menyerah. Aku tidak mau jika aku harus benar-benar melepasnya. Hatiku terasa berat. Dan aku tidak rela jika Hasna pergi jauh dariku.
"Hasna ... kumohon, aku mohon padamu. Tolong sekali ini saja untuk benar-benar memahamiku. Aku bukan laki-laki berengsek yang harus membuang dan menelantarkan istri lainku yang tengah hamil begitu saja. Aku bertanggung jawab penuh padanya. Sama seperti padamu, aku pun bertanggung jawab penuh atas dirimu," ucapku pelan berharap Hasna mau mendengar dan mengertiku.
Namun, yang terjadi tidaklah seperti inginku. Kilatan matanya menandakan bahwa ia tidak setuju dengan perkataanku.
"Memahami seperti apa, Mas? Aku bahkan sudah memahamimu yang hanya mencintainya! Aku mengerti dan merelakanmu jika kamu akan memilihnya dan bercerai denganku! Tidak cukupkah itu, Mas? Kamu hanya tinggal melepasku, dan akan tetap bahagia dengan cintamu itu. Sedangkan aku, aku mungkin akan bahagia seperti bayanganku jika lepas darimu," ucapnya dengan air mata yang berderai kembali.
Bahagia? Tidak! Aku tidak percaya. Aku tahu bagaimana dirinya. Bahkan dengan kenyataan yang dia begitu mencintaiku rasanya tidak akan semudah itu membuatnya bahagia setelah lepas dariku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)
RomansaPoligami? Ya, poligami, sebuah kisah poligami yang memang tidak semua orang sanggup menerima dan melakukannya. Tentunya, karena apa yang dijalaninya tidak semudah mengucapkan namanya. Tiga tokoh dalam cerita ini juga memiliki karakter yang berbeda...