Bagian 23 ( Fariz )

10.4K 692 336
                                    

"Jika terus seperti ini, mungkin lebih baik kamu memilih salah satu dari kedua istrimu! Kamu bisa pilih aku, atau dia!"

Ya Allahu rabbi ... hatiku tersentak kaget. Aku sungguh terkejut. Aku tak menyangka dan sama sekali tak pernah menduga jika satu ucapan itu akan keluar dari salah satu istriku!

Ucapan yang membuatku mati rasa untuk sesaat. Ucapan yang membuat hatiku patah ketika mendengarnya. Ucapan yang perlu berkali-kali menyaringnya agar dapat kucerna dan masuk kedalam pendengaranku.

Perihnya luka yang dia lihatkan nyatanya membuatku lunglai dan tak mampu berkata-kata. Aku, aku benar-benar merasa gagal menjadi nahkoda kapal untuk dirinya.

Ya, kapal yang bertahun-tahun kubawa berlayar kini terlihat begitu rapuh hanya dengan terombang-ambing deburan ombak kecil.

Kesakitan itu bisa kurasakan dan kulihat dengan jelas saat tatapan matanya, buliran beningnya, juga raut wajahnya yang begitu tersayat.

Namun, tidakkah dia menyadari jika aku pun merasakan sakit saat kata itu terucap yang memintaku memilih sebuah pilihan yang sama sekali tidak mungkin bisa aku pilih?

Tak kuasa, akhirnya satu tetes embun yang tadi menggenang di pelupuk mata kini jatuh meluncur membasahi pipi.

Rasa tak percaya masih hinggap dalam diri. Begitu tersiksa saat mata kepala ini melihat dengan jelas kesakitan, kerapuhan yang tengah dialaminya.

'Ya Allah ... seberat inikah menjalankan takdir yang Engkau berikan padaku?!'

Padahal, aku sudah berusaha memberikan mereka yang terbaik. Aku selalu berusaha menjadi suami yang dapat mereka andalkan. Tapi, mengapa istriku mengatakan jika aku tidak adil?

“Kamu jahat, Mas, kamu tidak pernah memikirkanku! Kamu hanya peduli dia! Dan, dia!” kelakarnya yang masih terus terdengar.

Namun, bodohnya aku karena masih tak mampu berucap untuk menyangkalnya. Ya, lidahku begitu kelu. Aku masih terlalu syok hingga sekadar menjelaskan saja rasanya tak bisa.

Pancaran matanya yang merah dan begitu terluka seakan sama dengan keadaan hatinya yang tak lagi baik. Segala emosi masih terus dia curahkan demi melegakan suasana hatinya yang mungkin terlalu sesak.

“Sekarang, ... aku benar-benar lelah menjadi istri pajanganmu! Istri pajangan yang hanya dijadikan pelarianmu! Aku lelah hidup dengan orang yang tidak mencintaiku! Aku tidak sanggup, Mas! Aku benar-benar tidak sanggup ....” lirihnya dengan bahu semakin berguncang karena tangis.

Ya Allah, ya Rabb ... apa aku seburuk itu, hingga dia merasa hanya seperti istri pajanganku?

Tidakkah dia merasakan betapa besarnya perlakuan lembutku padanya selama ini?

Bahkan, rasanya tak pernah secuil pun aku memperlakukannya seperti istri pajangan atau pelarian sekalipun!

Ya, aku selalu bersikap lembut dan penuh kasih sayang padanya. Aku selalu menunjukan betapa pedulinya aku padanya. Dan, bahkan aku selalu bersikap seperti suami yang begitu mencintai istrinya.

Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang