Bagian 21 (Hasna)

9.2K 678 182
                                    

Saat pagi menjelang, kubuka mata perlahan. Sejenak fokusku memandang arah berlawanan dimana semalam Mas Fariz berada tidur disana.

Namun, kini aku tak menemukannya. Dia tak ada. Padahal, seingatku semalam dia berada tidur bersamaku.

Aku beringsut hendak turun dari ranjang, namun sesuatu yang tampak manis di atas nakas mampu mengalihkan perhatianku.

Tampak manis? Ya, kulihat ada buket bunga mawar cantik yang wanginya menusuk hingga kelubang hidungku, dengan sebatang cokelat yang bertengger manis ditepinya. Tapi bukan itu yang mengalihkan perhatianku. Akan tetapi, sebuah kotak terbuka dengan ukuran kecil tersemat diantara bunga dan coklat itu.

Tanpa sadar sudut bibirku tertarik melengkung membentuk sebuah senyuman. Namun, saat peristiwa semalam melintas dalam ingatanku segera kutarik kembali senyumanku.

Rasanya enggan untuk mengambil atau sekedar meraba dan menghirup lebih dekat bunga itu. Meskipun, aku yakin sekali jika yang melakukan itu adalah Mas Fariz.

Ya, Mas Fariz. Dulu aku sering mendapat kejutan manis seperti itu darinya. Akan tetapi, sekarang ini aku merasa tak ingin mendapat hal itu.

Jika kalian mengira aku sudah memaafkannya, tentu itu belum. Aku terlanjur kecewa. Aku terlalu kecewa dengan dirinya yang terasa mengabaikanku, apapun alasannya, itu tak membuat hatiku segera meluluh.

Besarnya pengorbananku selama ini rupanya tak membuat dirinya bisa menghargaiku, apalagi mencoba menanamkan benih cintanya padaku. Tidak! Dia tidak melakukan itu.

Untuk sesaat, kulirik jam berwarna putih yang menempel di dinding tak jauh dariku. Rupanya aku terbangun pukul 04.00 pagi.

Tapi, kemana Mas Fariz?

Baru saja kaki melangkah menapaki lantai dingin di bawahku, tiba-tiba kudengar pergerakan pintu yang didorong dan terbuka. Mas Fariz. Ya, dia berjalan maju kearahku dengan senyum hangat terukir di bibirnya.

Tak ingin terbuai, aku pun mengabaikannya dan hendak masuk kedalam kamar mandi. Hanya saja suara merdu yang keluar dari mulutnya membuatku menahan gerak langkah kakiku.

"Kamu masih marah padaku?" Ucapnya yang kuyakini pandangannya mengarah padaku. Posisiku kini memunggungiya dan tak ingin berbalik badan hanya untuk menghadapnya.

"Aku minta maaf, semalam aku tak bermaksud melupakan malam kita. Aku tak pernah mengabaikan janjiku. Hanya saja, keadaan yang membuatku tak menepati janjiku," lanjutnya.

Namun, aku masih bergeming di tempatku. Rasa sakit itu kembali menyeruak ketika dia mengatakan bahwa keadaanlah yang akhirnya menjadi alasannya.

Ya, ini yang mulai harus kugaris bawahi 'KEADAAN'!

Keadaan dimana hatinya berlabuh terlalu dalam pada cintanya, yakni istri kedua. Hingga mampu mengorbankanku yang menjadi istri pertamanya.

Keadaan yang harus selalu kuingat bahwa kini takkan pernah lagi sama. Hingga seberapa besar pun aku mengharapnya, nyatanya akan kalah dengan keadaan dirinya yang akan mendahulukan pemilik hatinya.

Ya, semua itu karena keadaan! Keadaan dimana hidupku tak lagi penting baginya!

"Semalam ... Farah membutuhkanku. Dan aku tak mungkin begitu saja membiarkannya. Dia, dia —," jelasnya yang dengan segera aku potong.

Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang