Bagian 14 (Fariz)

9.5K 547 75
                                    

Bagai buah simalakama, rasanya menjadi serba salah. Niatku mendua bukan karena keinginan semata untuk diriku sendiri. Melainkan aku ingin benar-benar menjaga dan melindunginya, seperti permintaan adikku yang memintaku menikahinya. Meski sebelumnya aku sempat menolak, tapi karena permintaan sungguh-sungguh Fahmi yang akhirnya membuatku tak mampu menolaknya lagi.

Ku akui memang mencintai Farah, bahkan sudah sejak lama sebelum Fahmi mengenalnya. Tapi, tak pernah sedikitpun aku berniat menyakiti Hasna seperti saat sekarang ini.

Jika hatiku yang memilih mencintai wanita lain, apa aku bisa mengendalikannya agar dapat mencintai wanita yang selama ini telah berjuang untukku? Berjuang untuk bisa melupakannya sebagai bentuk rasa terimakasihku padanya?

Tidak! Tentu jawabannya tidak. Karena semakin aku berusaha mengendalikannya maka semakin sulit pula aku menata hatiku untuk mencintainya. Tidak semudah itu memaksakan hati untuk menuruti keinginan kita sendiri. Butuh waktu. Perlu waktu untuk semua itu. Meski aku tak tahu kapan waktu itu akan tiba.

“Aku minta maaf, Dek. Tapi sungguh, tak pernah sedikit pun aku berniat membuatmu terluka seperti ini. Aku menyayangimu, aku tidak ingin melihatmu tersakiti seperti ini.” kataku padanya, meski dia tengah menangis tapi aku akan mencoba berbica dari hati ke hati.

“Kumohon, mengertilah...”

“Aku ingin kita baik-baik saja tanpa ada yang merasa terluka.”

“Hatiku memang mencintai dia. Tapi, apa selama ini aku selalu menyanjung dia dihadapanmu? Walau sedetik, semenit? Apa selama ini aku memperlakukanmu buruk karena mencintainya?”

“Tidak! Aku rasa tidak. Aku selalu menghargaimu sebagai istriku. Memperlakukanmu sebaik mungkin, memujamu, menyayangimu, membuatmu layaknya menjadi istri yang selalu aku idamkan.”

“Jika aku bisa, mungkin hatiku akan aku biarkan untuk mencintaimu. Hanya kamu. Memilihmu yang selama ini telah rela mengabdikan hidupmu padaku. Yang mencintaiku dengan sepenuh hatimu. Yang membuatku beruntung bisa mendapatkanmu.”

“Bahkan meski aku belum mampu mencintaimu, tak pernah seujung kuku pun aku berniat menduakanmu dengan perempuan lain. Aku selalu setia. Selalu berusaha menjadi suami yang bisa kamu andalkan. Menjadi suami yang terbaik untukmu. Yang bisa mendampingimu, menemanimu, menyenangkanmu sebisa dan semampuku.”

“Aku berani bersumpah, jika aku menikahi Farah bukan karena telah mencintainya sejak lama. Bukan karena rasa yang selama ini aku punya untuknya. Tapi, ini murni karena aku ingin mengabulkan keinginan Fahmi. Aku ingin dia pergi dengan tenang, aku ingin dia bahagia dan tersenyum saat aku mengangguk menyetujui keinginannya. Percayalah.”

“Bahkan aku sempat berpikir, kalau aku tak mungkin bisa menikahinya. Ada kamu. Aku memikirkanmu. Aku tak mau kamu menderita karena pernikahanku. Aku mengutamakanmu, dan akan aku lupakan janji yang telah ku setujui dengan Fahmi.”

“Andai rasa bersalah pun yang mungkin akan aku rasakan jika tak mengabulkan keiinginannya, mungkin itu lebih baik. Ketimbang harus melihatmu terluka dan tersakiti bahkan menderita seperti saat ini, itu... itu yang aku tak ingin.”

“Aku sempat ragu dengan ucapanmu yang memberiku ijin menikahinya. Tapi dirimu, hatimu yang tegar dan mulia itu membuat keraguanku hilang. Kamu meyakinkanku.”

Ya, aku tidak pernah menduga kalau ternyata Hasna mengatakan memberikan ijinnya padaku. Aku pun terus meyakinkannya akan semua yang dia ucapkan. Aku tak ingin dia salah mengambil langkah, aku tak mau ada rasa sakit saat semuanya telah terjadi. Tidak! Aku tidak mau Hasna tersakiti.

“Dan, kamu tahu? Rasa bersalah itu muncul dan selalu kurasakan. Aku merasa telah menghianatimu. Aku merasa gagal menjadi suami yang selalu setia padamu. Hingga aku pernah berniat, jika setelah menikah dengannya pun aku tak akan menyentuhnya. Aku hanya akan menjaga dan melindunginya saja layaknya suami pada istrinya. Dan lucunya, niat itu pun gagal kembali karena kebaikanmu yang memintaku agar bersamanya, memberikan nafkah yang seharusnya hanya padamu saja aku lakukan. Meski aku mencintainya, tapi aku masih bisa mengendalikan hasratku padanya. Aku hanya tak ingin membuatmu tersakiti lagi, setelah pengorbananmu yang mengijinkanku menikahinya dan menjadikannya istri keduaku.”

Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang