Bagian 4

11K 542 4
                                    

Sesuai keinginan Mba Hasna, kini aku pun duduk di bagian paling depan bersama tamu-tamu undangan yang lainnya. Dekorasi acara pengajian ini pun nampak mewah dan juga elegan, dengan nuansa warna yang didominasi warna peach dan putih. Ada sebuah panggung yang tidak terlalu besar juga disediakan untuk pengisi acara pengajian ini.

Satu orang yang duduk tepat di sebelahku mulai menyapa dan mengajakku berkenalan, sedangkan Mba Hasna sendiri lagi mengobrol serius dengan yang empunya acara ini.

“Assalamualaikum ... sepertinya saya baru melihat Mba ikut pengajian ini yaa, dari majelis mana sebelumnya?” tanya seseorang tadi yang kutebak usianya sekitar 35 tahunan duduk di sebelahku.

“Waalaikumsalam warahmatullah ... iya Bu, perkenalkan saya Farah, saya baru ikut pengajian, dan diajak oleh Mba Hasna, err... Maksud saya, Ustadzah Hasna,” jawabku meralat kembali panggilanku pada Mba Hasna menjadi Ustadzah Hasna.

“Ooh iya iya Ustadzah Hasna ya ... saya suka loh sama beliau. Walau usianya masih tergolong muda di bawah saya, tapi beliau sudah sangat pantas menjadi seorang Ustadzah. Cantik, cerdas dan juga bersahaja,” kata Ibu itu padaku.

“Iya Bu, betul sekali. Beliau memang orangnya bersahaja dan sangat baik. Cantik juga cerdas,” kataku meng-iyakan. Karena semua itu memanglah benar.

“Tapi, saya juga merasa kasihan padanya. Dengar-dengar sih katanya Ustadzah dimadu, padahal beliau sudah sangat sempurna seperti itu tapi masih saja dipoligami sama suaminya,”

Deg ....

Rasanya aku seperti menjadi orang paling jahat kembali setelah diingatkan seperti ini. Karena kini nyatanya aku telah menjadi madu dan istri kedua dari suaminya. Maafkan aku Mba ....

“Memang sih yaa, jika punya suami ganteng apalagi mapan pasti saja kebanyakannya suka poligami, atau paling tidak selingkuh diam-diam. Melas banget saya tuh ketika tahu kalau Ustadzah Hasna dimadu, kasihan banget. Dan mau-mau aja tuh sama perempuannya yang rela jadi kedua, kaya gak ada laki lain aja,” gerutu Ibu tadi meski dengan suara pelan tapi intonasinya jelas terlihat kesal.

Sementara aku? Aku merasa ulu hatiku berdenyut nyeri mendengarnya. Bahkan untuk sekedar menelan saliva saja rasanya susah.

Sebegitu buruk kah menjadi orang kedua?

Akan tetapi, bukankah itu juga bukan kemauanku?

Tidak ada perempuan manapun yang mau menjadi istri kedua, semuanya pastilah ingin menjadi yang pertama. Kecuali, jika memang karena takdir mereka tentu tak dapat mengelak lagi.

“Oh iya, saya panggil Dek Farah aja yaa? Soalnya kelihatan lebih muda dari saya bahkan dari Ustadzah Hasna juga, iya kan?” katanya lagi yang kubalas hanya dengan anggukan kepala.

“Dek Farah sendiri apa sudah menikah? Atau, masih lajang?”

“Saya sudah menikah, Bu,” jawabku.

“Oh, tak kirain belum menikah, masih ayu banget sih ... mudah-mudahan suaminya setia ya, enggak selingkuh apalagi poligami jangan sampe deh. Nanti nyesek,”

Masya Allah ... ingin sekali aku menyudahi obrolan ini, karena yang bikin nyesek itu ucapan Ibu yang dari tadi, bukan masalah poligamiku.

Apalagi, jika Ibu ini tahu kalau aku adalah madunya Mba Hasna, mungkin akan lebih nyesek lagi ucapannya.

“Ngomong-ngomong, Dek Farah ini siapanya Ustadzah Hasna, yaa?”

Astagfirullah ... Haruskah aku jawab siapa aku ini pada Ibu? Yang jelas-jelas Ibu tak akan suka jika tahu siapa aku yang sebenarnya ....

Menjadi Madu Untuk Ipar (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang