part 8

878 24 0
                                    

"Hei....kita bisa makan ditempat lain!" panggil veranda ketika aku sedang berjalan dengan cepatnya di tempat parkir.
"Mall ini luas!" teriaknya.

Orang-orang melihat kami seakan-akan kami adalah pasangan ip kekasih yang sedang bertengkar, aku tidak mempedulikannya. aku terus berjalan ke mobilku, membuka pintunya, dan menyalakan mesinnya. aku menunggu veranda masuk, dan kuremas setir mobilku erat-erat, seakan-akan sedang mencekik leher seseorang, menunggunya untuk kehabisan nafas.

"Jangan overreacted! Terus kita gak jadi makan?" tanya veranda setelah masuk dalam mobil. aku diam saja, dan langsung mengemudi keluar. dadaku sesak, air mataku serasa mau keluar. "Hei.." veranda memegang tanganku dari samping.

"Berhenti dulu..."

Akhirnya aku berhenti di pinggir jalan dengan terpaksa.
"lo masih sayang kan sama gracia?" tanya veranda. Aku diam saja, tertunduk.
"lo gak bisa kayak gini terus.... lo harus lupain dia atau hadepin dia...." veranda berusaha menasihatiku.

"Gak sekarang ve" balasku.
"Terus mau kapan? lo gak bisa kan kayak begini terus… Jakarta itu sempit tau… lo bisa ketemu dia kapan aja..."
"Gak sekarang"
"Cerita lo sama gracia kan udah selesai setahun yang lalu…. Jangan lo jadiin beban terus…"
"G30SPKI juga udah puluhan taun yang lalu, dan sampe sekarang ga ada yang berhenti mikirin…"
"Jangan dibecandain dong"
"Pokoknya gak sekarang. Titik!" Bentakku.

Veranda tersentak dia mengulum bibirnya, menarik nafas pendek dan menatapku dengan tatapan prihatin. “Gue gak bisa liat lo kacau begini…. gak bisa…” dia menepuk punggungku dan menggosoknya dengan pelan. aku diam. diam dan menatap ke ujung jalan,ujung jalan yang tidak ada ujungnya itu.

--

Aku kembali ke apartemen dengan langkah gontai. boby menyambutku dengan muka ceria, yang tak aku gubris sama sekali. dia bertanya ada apa, kenapa aku tidak bereaksi pada sapaanya, aku hanya bisa bilang tidak ada apa-apa, kepalaku kosong dan pening rasanya. aku hanya masuk ke kamarku, menutupnya, berbaring dan memeriksa pesan di handphoneku ada banyak pesan dari veranda sejak dari pulang kantor, mulai dari yang marah-marah, bingung, hingga menawarkan untuk menemani di apartemen. Aku mendiamkannya saja, kepalaku pusing.

Mendadak aku memberanikan diri mengirim pesan ke mbak shania.

"Mbak, masih bangun?".
"Masih" jawabnya tak lama kemudian.
"Anaknya mbak ada ya?"
"Ada"
Aku menghela nafas. ya sudah, tidak ada yang bisa menghiburku malam ini. Aku keluar kembali dari kamar, dan menemukan boby bengong menatapku.

"Lo kenapa men?"
"Tadi siang ga sengaja ketemu gracia"
"Waduh…. Kacau dong?"
"Emang kacau" minimal perasaanku yang kacau.
"Terus lo gimana?" tanyanya lagi
"Ya cabut lah....."

Boby berinisiatif mengambilkan sekaleng bir dari lemari es tetapi kutolak dengan halus.
"Gapapa men, bukan itu yang gue butuhin sekarang" boby lalu bingung menatapku. Aku duduk dimeja makan, lalu bersender dan menyalakan rokok. aku u menghisapnya dalam-dalam.

Di dalam kepalaku, semua hal tentang gracia muncul lagi. SHANIA GRACIA HARLAN semuanya. Semua yang baik, mulai dari pertemuan pertama, kencan pertama, ciuman pertama, nonton di bioskop bersama, liburan pertama, dan semuanya. Semua yang buruk, mulai dari pertengkaran-pertengkaran kecil, pertengkaran besar, sampai ke kejadian hina yang membuatku memutuskan untuk berpisah dengannya.

Lucu. Aku yang memutuskan perpisahan, dan aku juga yang masih merasa terluka sampai sekarang. Harusnya aku lega, karena kesalahan tidak berada di diriku. Harusnya mudah meninggalkan gracia harusnya.

BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang