Part 24

479 24 8
                                    

Aku telah mengantarkan anin ke rumahnya, dan berjalan pulang dengan pelan ke apartemen. Kata-kata tadi seperti tidak keluar dari mulutku. Rasanya pun aneh, sakit sekaligus lega. Lega karena anin tidak menangis, tidak freak out, dan dia mau memikirkan kata-kataku. Sakit karena memang sakit rasanya, seperti menasihati diri sendiri. Tapi pengalamanku membuktikan, bahwa kalau aku bertindak tidak adil kepada orang lain, maka aku sendiri yang akan kena akibatnya, minimal perasaanku akan ikut terluka. Yang bisa kubayangkan sekarang hanyalah berhati-hati dalam bertindak. Membebaskan pikiranku, tidak memaksa untuk mengingat, melupakan, atau memikirkan hal di luar hal yang tidak ingin aku pikirkan.

Aku memperhatikan semua bekas chat di handphoneku ada yang belum kuhapus chat anin sewaktu di bali , kuperhatikan kembali dengan enggan. Isinya hanya foto lalu kuhapus itu semua. Biarkanlah itu semua seakan tak ada. Karena yang terpenting adalah perasaanku, perasaan anin agar tak terluka lagi, dan masa depanku di tahun yang baru ini pasti akan berbeda. Thanks to dey yang mungkin sekarang sudah kembali ke Amerika Serikat. Terimakasih untuk gracia, karena sudah mengajarkan rasanya sakit dan menyakiti. Sejenak kubuka album foto di handphoneku. Aku menekan lama dua folder dan folder keduanya kuhapus , folder foto-foto bersama anin dan foto-foto gracia yang seharusnya sudah dari awal kuhapus.

"Are you sure you want to delete these folder(s)?"

YES

--------------

"Udah beres ya, besok dilanjutin lagi"

Persetujuanku atas konsep desain yang dibuat oleh anak-anak juniorku menutup rapat internal.

"Nanti saya aja yang bikin presentasinya" lanjutku, tentunya dengan persetujuan dari mereka semua.

"Pulang ya Mas...." izin anin setelah rapat ditutup.

Aku mengangguk sambil membereskan laptop dan dokumen dokumen di hadapanku, sudah sebulan anin tidak mengganggu. Kini memang dia masih berbicara seperlunya saja kepadaku, tapi setidaknya sudah tidak ada gangguan lagi. Hubungannya dengan veranda juga menjadi normal, apalagi karena kini veranda sudah berpacaran dengan devan . Berita baik mungkin untuk anin tapi berita buruk buat boby ,dia kaget dan sedih mendengarnya.

"Dia kan baru kenal sama tu cowooookkkkkk.... Gue udah 10 taun kenal sama veranda" keluhnya padaku saat dia tahu bahwa verands sudah bersama devan.

"Kan agamanya beda juga men... " lanjutnya setelah mengeluh.
"Ya gimana abisnya bob..." ucapku tak menghibur.

Jam menunjukkan pukul 10 malam dan kengantukanku sudah pada puncaknya tapi aku masih punya satu tugas lagi, menyetir ke apartement dan boby  memberiku pesan singkat siang tadi.

"Mau ada beberapa temen gue ke apartement sampe malem, gapapa ya?"

Tentunya tidak apa-apa more than welcome tapi ngantukku parah sekali. Aku memutuskan untuk ke pantry dan membuat kopi untuk membantuku menyetir.

"Loh belom balik?" tanya Mas dyo yang memergokiku membuat kopi.
"Baru mau Mas...." jawabku setengah menguap.
"Gak nyantai dulu aja, tar kenapa napa loh nyetir ngantuk"
"Pelan-pelan aja Mas... Ngopi dulu tapi" aku lalu berlalu ke teras, duduk, meminum kopi dan membakar rokok, melihat jalanan yang sudah agak sepi. Keramaian pasti sudah dimulai di sudut lain kota ini bukan keramaianku tapi yang kurindukan saat ini adalah tidur yang enak, dengan suasana dingin kamar dan selimut yang hangat.

Dengan malas aku merayap menuju lift, sambil memperhatikan sosial media. obrolan dan komentar pada apapun setiap hari yang tak kunjung habis. Sejenak kulihat instagram veranda yang banyak dokumentasi soal Bali. Aku melihat foto kami berlima. Aku, veranda , boby ,dey dan immanuel Banyak komentar, terutama dari kaum hawa yang tampaknya sangat menggemari Immanuel, entah ingin berkenalan atau apa aku hanya tersenyum saja, karena mereka tidak tahu kenyataannya.

BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang