part 15

625 21 4
                                    

Pondok Indah

Aku mencari rumah kakek anin dengan seksama , hati ini rasanya tidak nyaman. Pertama kalinya lagi aku datang ke acara kumpul keluarga sehabis natal keluarga pacar setelah beberapa waktu lalu, dengan gracia. Pada waktu itu semua orang tampak bahagia, dan pembicaraan isinya hanya tentang nikah, nikah dan nikah. gracia tampak bahagia hari itu. Senyumnya terus mengembang. Dua hal yang paling mudah diingat dari gracia.
"Kenapa kamu kok rambutnya panjang terus?" tanyaku iseng suatu hari, sehabis makan si satu Mall.
"Gpp aku harus rapih dan cantik, aku kan dokter" senyumnya padaku.

Akhirnya sampai juga, dari semua mobil disana, mobilku tampaknya yang paling biasa. aku tersenyum dikulum saja,aku turun dari mobil, melihat devan bersender di mobil Mini Cooper Countryman warna biru. Tentunya rokok tersungging di bibirnya.
"Eh..." Sapanya.
"Anin di dalem ya?" aku bertanya kepadanya.
"Iya, jangan masuk dulu lah, temenin gue ngerokok" sambil ia mengacungkan kotak rokoknya ke arahku. dengan kaku aku mengambilnya dan membakarnya. Kami mengobrolkan hal-hal kasual saja, seperti saling bertanya kabar masing-masing. Mendadak anin keluar dari dalam, dengan ceria, langsung menarikku ke dalam tanpa memberiku aba-aba untuk bersiap, dengan sedikit kewalahan bergiliran aku menyalami semua orang yang ada di rumah itu. Keluarga besar anin. Terbayang betapa banyaknya nama dan wajah yang harus kuhapalkan. Berkali-kali aku berbisik, bertanya ke anin, itu siapa,om mana yang apa, untungnya anin sangat membantu.

"Makasih ya udah sempetin dateng" Ayahnya mengajakku ngobrol, menepuk bahuku pelan.
"Sama-sama om, saya yang makasih udah diundang"
"Santai aja, ngomong-ngomong maaf ya kakaknya anin belom sempet ketemu kamu sekarang-sekarang ini" Kakaknya anin memang kuliah di Australia, Cindy Yuvia Panggilannya yuvi Memang sudah kebiasaan mungkin di kakak beradik itu memotong namanya untuk menghasilkan nama panggilan yang lucu. "Nanti rencananya anin mau nengok yuvi kesana, mungkin taun depan, kalo bisa temenin ya" Ayahnya menepuk bahuku lagi. aku hanya bisa tersenyum, sambil melirik ke arah anin yang sedang berbicara panjang lebar di tengah kerumunan orang.

"Anin kenalin dong pacarnya ke tante" celetuk salah seorang disana. anin lalu menarikku untuk mendekat ke arah kerumunan anggota keluarganya. Celetukan-celetukan "Kapan Nikah?" "Aduh kamu udah gede, tante/om gak sabar lihat kamu nikah" terdengar terus ke arah kami. aku hanya bisa senyum, menyembunyikan kepusinganku atas semua pertanyaan itu. anin sendiri antusias menanggapinya.

Aku menyingkir sebentar, merokok di luar. devan menyusulku.
"Pusing pasti lo" celetuknya
"Hah?"
"Pertanyaan kapan nikah" tawanya kecil
"Oh" aku hanya tersenyum mengiyakan.
"Tu anak emang dari kecil obses sama kawinan" lanjut devan
"Dari kecil dah pengen jadi manten, kalo ada keluarga yang kawinan pasti dia yang paling heboh dan semangat, selalu bilang pengen cepet nyusul" tawanya. Aku hanya bisa meringis.





------------

"Udah dibilangin soal bali?" tanya veranda, di hari pertama ngantor. aku sedang beres-beres meja, membuang yang tak perlu dan menyortir dokumen di hari pertama masuk kantor.
"Belom"
"Bilangin dong"
"Gak tau ve"
"Gak tau apaan?"
"Gak tau gue ikut apa enggak"
"Ayo lah..... " Aku terdiam saja, aku butuh bicara ke anin.

Seminggu setelah masuk kerja kembali, pikiranku makin tak tenang, aku harus segera bicara padanya.
"Ngelamun lagi si bangsat" ucapan veranda mengagetkanku.
"Anin mana?" tanyanya.
"Ini masih jam setengah 10 pagi ve..." jawabku.
"Ya ntar kalo dah sampe langsung omongin ya" ketusnya
"Ampun deh"
"Gue soalnya boleh make villanya om gue di ubud nih"
"Iya terserah mau di mana juga ve"
"Duh, beneran nih, biar bareng beli tiketnya"
" kalo ga beli tiketnya cepetan tar mahal"
"Biarin, lo tajir ini kan"
"Orang tua gue yang tajir" ledek veranda
"Info yang ga penting"
"Penting dong"
"Bodo"

BastardTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang