Chapter 9

488 12 0
                                    

Author POV

Hari ini adalah hari minggu.
Ari mengikuti jejak Alfa menuju Cafe Ananta. Katanya, dia ingin bernostalgia di sana. Maklum, dulu dia sering sekali datang ke cafe itu sekedar bermain dengan Alfa.

"Fa, entar gue traktirin ya?" Ari mengedipkan matanya kepada Alfa.

Alfa menyahut, "biasaan lo! Tapi, yaudah si. Kan gue yang punya."

Mereka sekarang sudah menaiki mobil sport milik Alfa. Lalu Alfa melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh.

***

Sementara, di tempat lain Caca sedang menunggu jemputan dari Arvan. Karena rencananya hari ini mereka akan pergi ke Cafe Ananta.
Caca menoleh ke sebelah kananya, saat Arvan sampai di halaman rumahnya.

"Hai Ca! Lama ya nungguinnya? Maaf ya, soalnya tadi nyuapin Bi Imah dulu." Ucap Arvan, tak enak hati.

"Gak apa-apa kok Ka, lagian Bi Imah pasti lebih butuhin Kaka." Caca menyunggingkan seulas senyuman.

Tanpa menunggu lagi, Arvan pun menyuruh Caca untuk menaiki motor kesayangannya. Mereka pun segera pergi menuju cafe Ananta.

"Fa! Katanya mau traktir?!" Tagih Ari.

"Idih, ya pesen aja kali!" Jawab Alfa, sewot.

Ari pun meraih buku menu yang ada di atas meja nomor 4. Saat dia senang membolak-balikan halaman buku menu, Ari dikejutkan oleh datangnya Arvan tapi bukan itu yang membuatnya terkejut. Melainkan kedatangan Kakaknya yang mengajak serta Caca.
Hal itu membuat Ari langsung menutupi mukanya menggunakan buku menu.
Kini dia mulai mengintip dari balik buku menu. Dia pun menyimak pembicaraan keduanya.

"Ca, gimana kado yang Kaka kasih ke Key kemarin?" Tanya Arvan, memulai percakapan.

"Key sih suka Ka, dia juga terima kok." Tampak jelas ekspresi kecewa terpampang pada muka Caca. Ari menyadarinya.

Mereka pun kembali meminum kopi yang mereka pesan. Sementara Ari masih mengintip, sambil sesekali menyeruput es kopi pesanannya. Ari tau dari cara Caca memandang Kakaknya, sudah pasti Caca menyukai Kakaknya. Namun hal itu tak sedikitpun menggetarkan semangatnya untuk memperjuangkan Caca. Hidup Caca!

"Ca, makan kok kayak anak kecil sih? Tuh belepotan kan dibibir kamu." Kata Arvan, sambil mengelap bibir pink milik Caca.
Seketika hati Caca meleleh dibuatnya, bagaikan tertiban rejeki nomplok. Dia hanya pasrah sambil diam seribu bahasa. Arvan tak tau saja jika Caca mencintainya.

"Argh!!! Ngeselin!!!" Ari tak sengaja menjatuhkan gelas kopinya hingga terdengar bunyi prang!
Hal itu sontak membuat Caca dan Arvan menoleh ke arahnya. Reflek Ari menutupi seluruh bagian mukanya dengan menggunakan buku menu.

Huft... Hampir aja,
Ari lega karena tak jadi ketahuan.
Seharusnya dia lebih berhati-hati, dan bukanya mementingkan emosi. Karena akibatnya akan fatal.
"Caca mau ikut Kaka ke mall gak?" Ajak Arvan.

Ari kembali mengintip saat Caca berkata, "iya deh boleh, tapi jangan lama-lama ya Ka. Entar dicariin Mama." Pesan Caca.

"Sial! Mereka mau ke mall. Apa gue buntutin aja?" Tanya Ari, lirih.

Mereka pun segera meninggalkan meja nomer 3 yang mereka tempati. Berlanjut ke mall terdekat, untuk membeli sesuatu.
"Ah ikutin aja!" Ari segera melarikan diri dari cafe Ananta menuju ke mall.

Sesampainya di mall, Ari agak susah menemukan keberadaan Caca beserta Arvan. Namun untunglah ia masih menemukan keduanya setelah beberapa menit berkeliling.
Sampai akhirnya mereka singgah di tempat aksesoris. Ari masih menguping, dia mendengar saat Caca mengatakan.

"Ka, kayaknya Keysha suka deh sama penangkap mimpi ini, lihat deh!" Ucap Caca, sambil memperlihatkan benda indah sejenis aksesoris itu.

"Hm

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Hm... Boleh deh dibeli nih," Arvan menyetujui usulan Caca.

Caca hanya tersenyum, senyum kecut tentunya. Dia sudah salah kira, dia pikir Arvan akan serius padanya ya, dengan kata lain menembaknya. Tapi yang didapat malah kecewa belaka. Caca sudah menyadari kalau Arvan lebih tertarik pada temanya, Keysha. Tanpa tau yang sebenarnya.

"Yuk pulang?!" Ajak Arvan, yang telah membayar belanjaannya di kasir.

Hal itu membuyarkan lamunan Caca. Dengan segera ia kembali ke dunianya kini, lalu menyusul langkah Arvan ke luar mall.
"Mereka mau kamana lagi sih?!" Gerutu Ari, sambil mengintip dari balik patung manequin yang ada di depan mall.

Hingga tanpa sadar seorang karyawan mall menegurnya, "Mas! Ngapain ngumpet-ngumpet di sini?" Tanyanya.
Ari menoleh dan hal itu sontak membuat karyawan perempuan itu kehabisan napas.
"Maaf mba, saya mau cabut sekarang." Ari pun segera meninggalkan mall menuju dimana keberadaan Arvan dan Caca berada.

Sementara karyawan mall tadi hanya tersenyum dan pingsan di tempat karena ketampanan Ari yang tiada tara itu. "Andai aja suami gue kek mas itu," Mimpinya.

"Eh Ri! Lo mau ngapain ke sono?!" Tanya Alfa, yang sekarang telah berada di luar cafe-nya.

Ari tak menjawab. Pandangannya juga masih mengarah ke Caca dan Arvan. Alfa langsung tau maksud Ari saat meluruskan pandangannya ke arah pandangan Ari.
"Oh, itu. Jadi sebenernya lo suka sama Caca? Lah kenapa gak ungkapin aja?" Tanya Alfa.

"Lo gak perlu tau Fa." Jawab Ari, tanpa menatap Alfa.

"Ngaku aja, gue temen lo Ariano Reando!"

Bukanya menjawab, Ari malah berlalu dengan memasang wajah cemburu campur dongkolnya.
Alfa lantas hanya bisa memaklumi tingkah laku sahabatnya yang sedang kasmaran ini. Dalam cinta, orang ganteng juga bisa tersingkir. Batin Alfa.

Malam itu, hujan mengguyur ibu kota Jakarta. Ari yang hanya jalan kaki pun tak luput terkena air hujan. Dia sudah tak peduli kepada cuaca, bahkan perutnya sendiri yang sejak sore belum makan. Dia hanya menyeruput es kopi saat di cafe Ananta.
Perlahan Ari menghentikan langkahnya, dia merasakan ada seseorang yang mengikuti langkahnya. Benar saja, saat ia berhenti rasanya tubuhnya tak lagi terguyur derasnya hujan.
Saat itulah ia sadar, bahwa Yasmin telah memayunginya dari belakang.

"Ri! Lu gak pulang apa?! Nyadar dong, ini kan hujan ish!" Omel Yasmin.

Ari tak menjawabnya, tapi ia mendengarnya baik-baik. Dia hanya sedikit malas berbicara kali ini. Bahkan untuk kata singkat dia sungkan. "Ari! Cepet pu..."
Belum sempat Yasmin menyelesaikan katanya, segera Ari mendekap tubuhnya yang setengah basah terkena hujan itu. Alhasil payung yang tadinya hanya digunakan Yasmin untuk memayungi Ari, kini memayungi mereka berdua.

"... Lang." Lanjut Yasmin, setelahnya.

Deg...

Deg...

Deg...

Yasmin merasa kaget bercampur bahagia saat ini. Dia mengklaim bahwa usahanya membantah ayahnya untuk ke Jakarta tidak sia-sia. Buktinya Ari memeluknya sekarang. Tapi tak begitu dengan yang sebenarnya.
"Min, gue mau dekapan ini cuma punya gue. Gak ada yang boleh dekap lo selain gue!" Pesan Ari.
Yasmin menjawabnya dengan anggukan yang dapat dirasakan Ari.

Untuk beberapa saat keduanya berpelukan di tengah hujan lebat di ibu kota Jakarta itu.[]

Next...

The Most Wanted[END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang