Chapter 23

22 4 0
                                    

Akhirnya bisa up lagi....:')
Terlalu banyak kebahagian jadi lupa punya PR disini 😂








Happy reading.....





Setelah kemarin pagi membuat satu sekolah heboh. Pagi ini Ray berjalan seorang diri di koridor yang dipenuhi dengan bisikan dan tatapan berbeda dari teman-teman sekolahnya. Ia tak peduli jika dirinya jadi bahan pembicaraan, sungguh. Hanya saja ia sesekali kesal saat ada yang berbicara tidak-tidak tentang Abangnya. Dasar netizen...

Melihat jam tangannya, lima menit lagi pelajaran akan dimulai. Tidak kesiangan, hanya saja tadi ia berdiam lama di ruang osis atas perintah sang abang. Keadaan seketika hening saat Ray sampai dikelas. Mengedarkan pandangannya, dilihatnya Dania tersenyum melihat kedatangannya. Diva sedang berbicara denga Alvian. Sedangkan Keenan dan Fania.... entahlah, bangku mereka kosong. Membalas senyuman Dania ia pun melanjutkan langkah menuju mejanya.

Setelah melewati pelajaran yang begitu membosankan kini para siswa berhamburan karna bunyi tanda istirahat sudah menggema. Seperti biasa Ray membawa bekalnya berjalan bersama Dania yang dikuti Diva dan Alvian di belakangnya. Sebetulnya Alvian ingin menjauhi Ray karna Keenan. Hanya saja hari ini Keenan tak masuk jadi ia rasa satu hari tak masalah. Selagi ada kesempatan kan..

"Kemarin kemana?" Tanya Alvian tiba-tiba . Ray yang merasa itu untuk dirinya segera menyelesaikan kunyahannya.

"Dokter Haris" ucap Ray seadanya. Toh ia tau Alvian paham maksudnya.

"Gak mungkin kalo cuma ketemu abang lo. Orang Rivaldi sampe rusuh lari-lari gitu. Lo sakit?" Alvian tak percaya. Yang diakhiri lirihan. Ayolah abangnya itu dokter, gak mungkin kalo cuma ingin ketemu doang.

"Urusannya sama lo apa?! Mau gue sakit atau sekarat sekali pun gak ada urusannya sama lo!" Entahlah kenapa akhir-akhir ini Ray sangat sensitif mengenai penyakitnya. Ia jadi teringat ucapan Fania yang mengatakan seharusnya ia yang mati. Ia jadi merasa memang ini kesalahannya. Harusnya ia yang mati bukan sahabatnya. Gara-gara penyakit ini ia membunuh nyawa sahabatnya sendiri.

Dania memegang tangan Ray, menenangkan. Ia tau sahabatnya sedang rapuh saat ini. Diva dan Alvian sama-sama terkejut mendengar jawaban Ray yang kelewat sinis itu. Seakan paham situasi Diva mengalihkan topik.

"Keenan kemana?" Ok mari kita sebut Diva bodoh. Bukannya mencari lelucon malah membahas hal berat lainnya.

"Ngurus kepindahan Fania" ucap Alvian agak kesal. Ia kesal karna niatnya mendekati Fania dan mengali informasi jadi gagal saat Keenan mengatakan Fania akan pindah ke luar provinsi.

"Fania pindah? Lari dari masalah huh?!" Sarkas Dania.

"Entahlah gue udah ngelarang, tapi keras kepalanya Keenan mana ada yang bisa ngelawan" ucap Alvian santai. Ray menatap Alvian intens. Tentu saja Alvian gugup dan berusaha menghindari tatapan. Jatungnya sudah berdegup kencang tak manusiawi. Ia tak tau harus berbuat apa. 'Sial! Kenapa Ray liatin gue kayak gitu. Gue harus ngapain!'

Dania dan Diva sudah menahan tawanya melihat Alvian yang salah tingkah seperti itu. Hingga akhirnya Alvian menyerah, ia berdiri tanpa pamit meninggalkan makanannya. Seketika tawa Diva menggelar diikuti kekehan dari Dania. Ray yang tersadar dari lamunannya pun menatap jengah kedua teman bobroknya ini.

"Ray.. elo kenapa liat Alvian segitunya si?" Tanya Diva masih dibarengi tawanya.

"Hah? Kenapa? Gue cuma curiga sepertinya Alvian tau sesuatu dan ada yang dia sembunyikan." Ucap Ray, ia heran apa ada yang salah. Ia hanya curiga dengan Alvian selain karena dia saudara kembar Keenan. Jawaban Alvian juga yang awalnya terlihat kesal malah jadi santai. Ia hanya takut Alvian bersekongkol dengan Keenan dan selalu berada di dekatnya untuk mencari tau tentang sesuatu.

RaySita / (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang