Chapter 13

31 5 0
                                    

Jeng jeng jeng..

Selamat membaca...!!!









Hari Minggu yang cerah, Ray berencana mengunjungi Irash dan kedua orang tuanya. Bahkan ia sudah menelepon ojek online langganannya untuk datang. Tentu saja tanpa memberitahu abangnya , Rivaldi kini sedang sibuk mengurusi perusahaan ia tak mau membuat tugas abangnya menumpuk. Jika ia memberi tahu pasti Rivaldi akan meninggalkan tugasnya dan memilih mengantar Ray.

"Bang berhenti sebentar Ray mau beli bunga dulu." Ucap Ray.

"Ok neng" jawab abang ojek

Ray memasuki toko bunga dan langsung mendapat sapaan hangat dari pemilik toko.

"Ray.. apa kabar ? Sekarang jarang banget mampir" sapa pemilik toko

" Kabar Ray baik Kak. Biasa Abangnya susah diajak kompromi. Kak Rena gimana kabarnya?"

"Kabar Kakak juga baik. Rivaldi gak pernah berubah yah"balas Rena sedikit terkekeh " bunga biasa Ray?" Tanyanya memastikan . Ray terseyum dan mengangguk pasti.

Ia menunggu sambil melihat beberapa bunga. Ia jadi teringat saat pertama kali kenal Rena. Karna dulu ia hampir setiap hari datang kesini untuk membeli bunga yang sama sebelum ke pemakaman. Sampai Rena hapal bunga yang akan dipesan Ray. Bahkan Ray beberpa kali datang dalam kondisi memakai pakaian Rumah Sakit. Iya Ray kabur.

"Ini bunganya Ray" Ray tersentak saat Rena mengulurkan bunganya. Apakah ia melamun?

°°°
Saat ini Ray tengah terduduk di samping pemakaman Irash, setelah tadi ia mengunjungi makam kedua orang tuanya.

Ray mengingat kembali kenangan yang begitu banyak bersama sahabatnya itu. Bahkan dulu ia lebih memilih pergi bersama Irash dibandingkan sang Abang. Hingga rasanya begitu sesak saat bayangan 3 tahun silam dimana ia harus kehilangan Irashnya. Bahkan ia tak sempat melihatnya untuk terakhir kalinya.

Ray menangis, luka kehilangan itu masih basah, tragedi itu masih jelas terngiang. Ia merasa begitu bodoh karena telat menyadari bahwa dirinya sangat membutuhkan Irash. Bukan, lebih tepatnya ia mencintai sahabatnya ini. Andai dulu ia sadar lebih awal akan perasaannya mungkin ia takkan sesedih ini.

Dadanya begitu sesak seiringan dengan pilunya suara tangisan. Sungguh ia merasa tak berguna saat seseorang merelakan kehidupannya demi dirinya. Terlebih itu orang yang berharga.

Hari sudah semakin siang Ray memutuskan untuk meninggalkan pemakaman dengan berjalan kaki. Tentu saja tak sampai rumahnya sesedih sedihnya seorang Ray ia masih berpikir logis untuk tidak berjalan kaki yang jaraknya 30 menit lebih jika di tempuh oleh motor. Ia juga tak mau membuat Rivaldi mengamuk. Asal kalian tau, Rivaldi kalo sudah mengamuk mukanya itu lebih seram daripada Valak. Serius!!

Saat dirasa kakinya mulai lelah Ray memutuskan untuk mencari taksi atau bus. Ray melambaikan tangannya saat melihat taksi akan melintas didepannya. Saat Ray akan memasuki taksi tiba-tiba ada seseorang yang menariknya.

"Maaf pak, gak jadi ya. Dia ikut sama saya"

Ray menatap tak percaya. Siapa orang yang berani menghalanginya. Tak tau kah jika Ia sudah lelah dan ingin tidur dengan nyenyak.

Orang itu kembali menarik Ray ke arah motornya dan memberinya helm.

"Mas siapa si? Main tarik-tarik aja. Mas Jangan ngerebut rezeki orang dong. Kalo sekiranya gak ada penumpang jangan tarik-tarik orang lain gini." Omel Ray.

Laki-laki didepannya ini menatap heran, ia berpikir apakah dirinya terlihat seperti tukang ojek?. Ia pun membuka helmnya.

"Alvian?!"

RaySita / (Hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang