"Mih, Windy udah cantik belum?"Pertanyaan itu sontak membuat Gaby menatap anak gadisnya dengan teliti. Menilik penampilan Windy dari atas sampai ujung kaki. Dan Gaby mulai tersenyum sambil mengacungkan Ibu jarinya pada Windy. "Anak Mami kapan sih jeleknya? Cantik mulu perasaan," kata Gaby memuji dengan tulus.
Windy tersenyum malu-malu. Ia mendekat pada Gaby yang sedang menata bunga Tulip di vas bunga-nya. Windy memeluk lengan Gaby dan menyandarkan kepalanya pada pundak Gaby. "Mi, menurut Mami, kak Candra gimana?"
"Gimana?" Gaby mengerutkan keningnya. "Hemmm... Coba Mami inget dulu, ya." Gaby memasang wajah menerka-nerka yang Windy ketahui hanya pura-pura. Sebenarnya tanpa perlu meminta penilaian Gaby, Windy tahu bahwa orang tuanya juga menyukai Candra.
"Windy sayang sama kak Candra, Mi." Windy memeluk lengan Gaby makin erat.
Gaby mengecup puncak kepala putrinya dan tersenyum. "Tapi, Windy harus inget, ya. Semakin besar rasa sayang kita ke seseorang, semakin besar juga tanggung jawab yang kita ambil," ucap Gaby menasehati.
Windy melonggarkan pelukannya dan menatap Gaby dengan sorot wajah tak mengerti. "Windy gak ngerti maksud Mami. Eittt—" Windy menyela lebih dulu ucapan Gaby yang hendak menyahut. "Mami gak usah jelasin. Nanti Windy makin gak paham." Windy menggeleng lucu membuat Gaby mencubit pipi Windy saking gemasnya.
Sebenarnya, putrinya ini sudah kuliah apa masih duduk di bangku SMP, sih? Gaby heran masa.
"Abang mana?" Tanya Hans yang sudah keluar dari kamarnya menghampiri Gaby dan Windy di meja makan.
"Gak tahu," jawab Windy enteng. Seolah tidak mau peduli di mana Tristan saat ini.
Hans membuang napas dan berkacak pinggang sambil memperhatikan jam dinding yang berada di atas lemari pajangan. "Udah jam setengah delapan, loh. Tristan mana, sih?!" Hans mulai gusar.
Undangan makan malam yang dilakukan oleh keluarga Candra disetujui pada pukul delapan. Dan kurang tiga puluh menit lagi, namun mereka belum siap semuanya.
"TRISTANNN!!!" Teriak Hans dari lantai bawah.
Padahal baru satu panggilan. Namun membuat pria dengan rambut yang sudah dicat ombre abu-abu itu bergegas keluar dari kamar. Tristan menuruni anak tangga sambil mengancing jas hitamnya. Sebenarnya Tristan paling malas ikut acara makan malam begini. Apalagi Hans menyuruhnya memakai jas. Layaknya acara makan malam bersama Presiden yang akan mereka hadiri.
"Udah siap semua?" Tanya Hans pada mereka.
Windy dan Gaby mengangguk.
"Eh, itu bunga buat Mama-nya Candra jangan lupa dibawa, Win." Ingat Gaby pada Windy yang sontak membuat Windy berjalan dan mengambil bunga Tulip lainnya yang Gaby pesan sekalian untuk diberikan kepada Ranti.
"Udah, ya? Berangkat!" Seru Hans dan akhirnya mereka keluar menuju mobil yang sudah disiapkan.
Tristan tidak suka memakai mobil yang sama dengan keluarganya. Sebab itu ia memilih memakai motornya sendiri untuk pergi ke rumah Candra. Hans tidak terlalu mempermasalahkan. Selagi Tristan melakukannya karena keinginannya sendiri, tidak masalah. Hans bukanlah tipe orang tua pemaksa.
###
Tepat pukul delapan lebih lima menit, Candra mendengar suara bel pintu rumahnya berbunyi. Segera ia berdiri dari sofanya bersamaan dengan Ranti dan Yura untuk menyambut tamu mereka. Bi Ijah juga sudah lebih dulu membukakan pintu itu bagi keluarga Hans.
Setelah pintu terbuka, mata Ranti tidak bisa berbohong jika ia langsung memandangi sosok Hans yang sudah berdiri tegap di hadapannya bersama Gaby, istrinya.

KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER | Wenyeol ✔
FanfictionAwalnya hanya sepihak, kemudian jadi dua pihak. Kemudian melebar sampai ke mana-mana. Namanya juga takdir, siapa yang bisa menebak? ______ Vange Park © 2018