Menikmati liburan semesternya, Windy mengambil kesempatan untuk terus bersama Candra. Tidak peduli, pagi, siang atau pun mau malam, Windy sebisa mungkin harus bersama Candra. Karena jika tidak, maka kadar kerinduan yang sudah ia kumpulkan tidak akan maksimal. Akibatnya, jika ia kembali ke Jakarta lagi, ia bisa cepat merasakan rindu lagi. Jadi, sekarang ia harus menikmati kesempatan itu.
Windy saja sampai menolak ajakan jalan-jalan Kanya dan kawan-kawan. Ia memilih menemani Candra di kantor tanpa peduli bosan atau ngantuk. Yang jelas, Candra is number one. Ya iyalah number one. Calon suami Windy ini.
Seperti pagi itu, Windy mengikuti Candra ke kantor. Padahal Candra bilang, jika Windy mau pergi jalan-jalan bersama Kanya, boleh saja. Karena rencana kegiatan Candra hari ini, ia harus menemui beberapa vendor siang ini. Dan Candra yakin, Windy pasti akan mati bosan jika hanya menungguinya saja.
"Kamu padahal boleh loh kalau mau jalan sama Kanya. Ntar sore kan aku udah selesai, bisa ketemuan lagi." Candra mengusap kepalanya sambil mencium pundak Windy yang memang secara sengaja mengacaukan pekerjaan Candra dengan duduk di pangkuan pria itu.
"Nanti Windy kangen sama Candra."
"Bentaran doang, Sayang."
"Ga boleh. Windy ga rela."
Udah kayak gue mau tinggal mati aja pake acara ga rela, ya Tuhan.
"Ya udah, aku kerja dulu. Kamunya duduk di situ, ya?" Candra berujar lembut padanya. Ia trauma pada kejadian waktu ia sibuk skripsi, dan membentaki Windy dan bahkan mengancam putus. Sejak itu, Windy tidak bicara lagi padanya dan malah membuat dirinya sendiri yang uring-uringan karena kangen.
Jadi, belajar dari kesalahan, Candra sebisa mungkin harus menjaga perasaan Windy agar pacar –eh engga dong, sekarang udah berubah statusnya jadi –calon istri. Jadi, sebisa mungkin, Candra harus membuat calon istrinya itu selalu bahagia bersamanya.
"Win... gimana aku mau kerja kalau kamu duduk di sini, Yang."
"Ya udah, Candra kerja aja. Windy ga ganggu."
"Ya tapi laptopku –Sayang, duduk sana bentar aja. Ya?"
Windy menggelengkan kepalanya lalu menyandarkan kepalanya pada dada bidang Candra. "Ga mau, sofa yang sana kejauhan. Windy ga mau jauhan sama Candra. Harus deket terus biar ga kangen."
Sabar, Ndra, Sabar. Calon bini elo, nih.
"Yang, kalau aku ga kerja, aku ga bakal dapat duit. Kalau ga dapat duit, aku ga bisa biayain pernikahan kita."
Windy menoleh ke samping menatap wajah pacar –eh, engga lagi dong. Kan udah jadi calon suami. Jadi, Windy menatap wajah calon suaminya itu dengan lekat. "Ga papa, pakai uang Windy dulu. Windy ada uang, kok."
Ya ga gitu juga, bwambwank! Eit, ga boleh kasar, Ndra. Inget, calon bini.
"Ndra ga bosen gitu kerja terus? Windy aja yang liatin Candra sampai bosen gini." Windy duduk menyamping lalu memeluk leher Candra membuat pria itu memeluk pinggangnya sontak. Ya, berjaga-jaga, siapa tahu nanti Windy jatuh tanpa sebab, kan?
Windy mengusap pipi lelaki itu dan mengecup bibir Candra lembut. "Masa Candra lebih pilih laptop dari pada Windy? Emang laptop bisa kasih apa sama Candra?"
"Ga gitu, Windy." Candra sudah kehilangan kesabarannya. "Aku marah nih, ya?"
Windy mengerucutkan bibirnya. "Kamu tuh sekarang suka gitu ngancemnya! Ngeselin!" Windy segera berdiri dari pangkuan Candra dengan wajah cemberut dan duduk di sofa sambil memangku kaki. Candra tersenyum diam-diam. Ternyata Windy juga trauma jika mendengar Candra akan marah.

KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER | Wenyeol ✔
FanficAwalnya hanya sepihak, kemudian jadi dua pihak. Kemudian melebar sampai ke mana-mana. Namanya juga takdir, siapa yang bisa menebak? ______ Vange Park © 2018