Epilog

3.8K 273 97
                                    


Windy menggeser tangan Candra yang memeluk tubuhnya. Ditatapnya jam beker di atas nakas yang menunjukkan pukul enam pagi. Biasanya kalau jam segini, Bude Tin udah datang ke rumah buat beres-beres. Windy menatap Candra sebentar, posisinya yang duduk membuatnya bisa bebas mengusap rambut Candra dan mengecup pelipis suaminya itu dengan lembut.

Candra merasakan kecupan seringan bulu itu. Ia lantas tersenyun dan memeluk pinggang Windy lagi. Mengeratkan pelukannya sebagai bentuk ketidakmauan Candra melepas istrinya beranjak dari kasur.

"Candra...,"

"Hmm....,"

"Lepas." Windy masih berucap dengan nada lembut dan serak. "Windy mau---"

"Bentaran doang." Candra mengecup punggung tangan Windy.

Setelah menikah tiga tahun yang lalu, setelah Windy wisuda, Candra memutuskan untuk membawa Windy ke Bandung. Tinggal di sana dan membangun rumah tangga mereka sendiri. Dan di sinilah mereka. Di rumah kecil mereka yang selalu menjadi saksi tempat Candra dan Windy memadu kasih.

"Candra, Bude Tin pasti udah datang." Suara Windy lebih kepada rengekkan. Candra tidak kunjung melepaskannya. Malah ia memilih membaringkan Windy lagi di ranjang dan melesakkan kepalanya pada leher Windy. Menghirup feromon istrinya dan mengecup leher serta pundak telanjangnya.

"Mau ngapain sih pagi-pagi sama Bude Tin?"

"Mau masak."

Ya kali Windy sama Bude Tin mau main monopoli bareng?!

Jangan salah. Selama tiga tahun inu Windy sudah banyak berubah. Iya, berubahnya cuma tentang kesiapan menjadi istri. Contohnya masak, dan melayani suami. Bude Tin juga sebenarnya bukan ide Windy, itu ide Candra. Candra tidak mau istrinya kelelahan. Pembantu yang lama pulang kampung karena anaknya sakit. Jadi ya Candra cari yang baru.

"Kamu mau makan apa pagi ini untuk sarapan?"

Candra tersenyum, kemudian menyusupkan tangannya ke dalam lingerie dan mengusap perut Windy hingga makin ke atas. "Makan kamu boleh?"

Windy menoleh menatap Candra yang sudah membuka matanya dengan tangan kurang ajarnya yang sibuk bergerak. "Candra!"

"Apa, Sayang?"

"Aku serius nanya."

"Aku serius jawab." Candra mengecup tengkuknya ringan.

"Enggak. Kamu tuh---" Windy menggigit bibir bawahnya. Lalu menahan tangan Candra dan mengeluarkannya dari dalam baju tidurnya. "Ga boleh. Semalam, udah!"

"Semalam mana puas, sih? Kamu kecapean gitu. Lanjutin, ya?"

"Kamu ngomong gitu lagi, nanti malam tidur di luar!"

Candra menyerah. Ia menjauh dari Windy dan menutup wajahnya dengan bantal. Merasa kesal sendiri, hasratnya pagi ini tidak jadi tersalurkan. Windy pun bangun dari ranjang dan memperbaiki bajunya, lalu menutup juga dengan bathrobe berwarna hitam. Melihat suaminya nampak merana dan kecewa, Windy pun mendekat. Ia membuka bantal itu dan mengecup bibir Candra. Sebenarnya alasannya menolak adalah, ia takut akan menyelesaikan kegiatannya bersama Candra sampai siang. Candra itu soalnya kalau sekali dilolosin, bakal minta nambah terus.

"Jangan marah."

"Siapa yang marah?"

"Kan kamu udah janji ga akan maksa kalau aku juga ga mau."

"Ya tapi lihat kamu pagi-pagi pakai pakaian kayak gini itu nyiksa, Win."

"Terus kamu mau aku make apa? Sarung?"

STALKER | Wenyeol  ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang