Sudah dua batang rokok yang Candra habiskan. Padahal ia sudah lama berjanji dengan cewek itu akan berhenti untuk merokok. Namun permasalahan yang ada dalam benaknya membuat Candra tidak tahu harua melampiaskannya pada apa kecuali merokok lagi sekarang.
Ia cukup kacau dengan mengetahui bahwa kakaknya adalah selingkuhan dari papi Windy. Hal gila macam apa itu? Dari sekian banyak perempuan, kenapa harus Yura yang menghancurkan rasa percayanya? Kenapa harus Yura yang menjadi perusaknya? Ia masih tidak mau percaya meski bukti itu sudah ia genggam di tangan. Candra masih mau berharap jika bukan Yura yang kemarin ia lihat bersama Hans.
Candra pun mematikan puntung rokok yang sisa sedikit itu ke dalam asbak dan mengeluarkan satu batang rokok lagi dari dalam kotak. Ia hampir saja menyalakan rokok itu lagi jika Sanja tidak menahan pergerakannya.
"Udah abis dua ini," ucap Sanja mengambil rokok yang Candra jepit di sela jarinya dan membuangnya ke tempat sampah.
Candra hari ini bolos kuliah. Ia diam di rumah. Mematikan ponselnya membuat siapapun tak bisa menghubunginya termasuk Windy. Alhasil, Sanjalah yang menjadi orang pertama bagi Windy untuk ditanyai.
Sanja pun mengambil posisi duduk di sebelah Candra. Ia menemukan pria itu di taman belakang yang menghadap langsung ke arah taman bunga bunda. Masih diam, Candra tidak mau membuka suaranya. Rasanya malas hanya untuk berujar.
"Lo kenapa sih? Cerita! Jangan diem-dieman kek limbad!" Celetuk Sanja namun hanya abaian yang ia terima. "Ndra? Budeg?"
"Apaan dah, Nja! Ganggu, lo!" Selanya mendorong kepala Sanja menjauh.
"Ya makanya cerita. Lo kenapa lagi? Kenapa make acara ilang-ilangan? Mau caper jangan gini, lah."
"Berisik, lo."
"Cewek lo tuh, nanyain lo ke gue udah kek rel kereta api." Sanja bersungut-sungut ketika mengingat bagaimana kupingnya berasap karena pertanyaan beruntun Windy yang tidak habis-habis.
Candra merasa terusik mendengar nama cewek itu. Sungguh. Ia memang rindu. Tidak bertemu Windy seharian nampak begitu berefek padanya.
"Lo sakit?"
"Sanja."
Sanja menoleh geli mendengar namanya dipanggil begitu oleh Candra. "Kesambet kunti mana, nih, lo ngomongnya jadi kek banci gitu?"
Candra meringis mengepalkan tangannya. "Tolongin gue."
"Ya ngomong aja! Gak usah dibuat drama gitu!"
"Kalau Windy nangis, lo harus jadi orang pertama yang ada buat dia." Candra menoleh ke arah Sanja dengan wajah permohonannya.
"Hah? Maksudnya apa, nih?"
"Janji, ya, Nja. Pokoknya harus lo yang ada di samping dia buat nenangin dia kalau dia nangis."
Sanja menggaruk pelipisnya. "Gue gak ngerti, Ndra. Lo mau ke mana emangnya?"
Candra tidak menjawab pertanyaan itu. Ia memilih menatap langit senja dengan embusan angin menerpa kulit wajahnya. Membiarkan Sanja di sampingnya menatap dengan tatapan penuh selidik.
***
Tok tok tok
"Masuk!"
Setelah mendapat izin masuk, Candra berjalan memasuki kamar Yura. Kamar yang didominasi warna hijau dan putih. Warna yang segar dan menjadi favorit Yura sejak dulu. Ditatapnya jika Yura tidak menatap kehadirannya, melainkan masih fokus pada laptop yang disertai dengan setumpuk berkas dari pekerjaannya di kantor yang terlampir di atas nakas.
KAMU SEDANG MEMBACA
STALKER | Wenyeol ✔
FanficAwalnya hanya sepihak, kemudian jadi dua pihak. Kemudian melebar sampai ke mana-mana. Namanya juga takdir, siapa yang bisa menebak? ______ Vange Park © 2018