Wonderwall • 20- Sebuah rasa yang menghujam dada

1.3K 96 5
                                    

Tari terdiam di kamar tidur yang berada di rumah kakeknya,  dia hampa memandang beberapa kendaraan yang berhilir mudik di jalan yang berada di depan rumah tersebut melalui jendela kamar yang berada di lantai atas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tari terdiam di kamar tidur yang berada di rumah kakeknya,  dia hampa memandang beberapa kendaraan yang berhilir mudik di jalan yang berada di depan rumah tersebut melalui jendela kamar yang berada di lantai atas. 

Entahlah hari ini rasanya begitu tidak menyenangkan.  Seolah rasa semangat untuk tersenyum saja enggan ia keluarkan. 

Dia menopang dagu dengan telapak tangannya. 

Minggu pagi yang cerah seolah tidak mendukung keadaannya yang tidak menentu. 

Helaan demi helaan napas dia lakukan tajam-tajam. Didorongnya kaca jendela agar terbuka, hingga semilir angin mulai menerpa wajahnya lambat-lambat. 

Musik yang mengalun santai yang sejak tadi dinyalakan tetangganya seolah berusaha menenangkannya. 

Ia menoleh ke sana-ke mari, seolah berusaha mendapatkan hal yang mampu menarik perhatiannya. 

Dahinya berkerut saat pandangannya bertemu dengan meja kerja yang kakeknya belikan untuknya saat pertama kali bekerja di perusahaan cabang milik Akmal guna membantu Tari jika ada pekerjaan yang harus ia kerjakan di rumah. 

Kakinya mulai melangkah mendekati meja tersebut.  Didudukkannya tubuhnya itu di kursi kerjanya. 

Di sana hanya ada beberapa buku,  sebuah lampu meja dan pas bunga. 

Tangannya mulai meraih empat buku yang berada di sana,  melihat-lihat selintas.  Hingga pada akhirnya dia terjatuh pada buku jurnalnya saat SMA dulu. 

Salah satu sudut bibir Tari terangkat,  satu-persatu lembaran di sana mulai ia buka.  Dimulai dari halaman judul, lalu setelah membuka beberapa lembaran ia menemukan daftar rencana-rencana mingguan hingga tahunannya. 

Satu-persatu ia kembali baca,  hingga ia berhenti di lembaran yang mana terdapat banyak sekali foto yang tertempel di sana. Dirinya tampak belum menutup kepalanya saat itu. 

Di sana terdapat fotonya dengan Hasbi,  lalu dengan Salsa,  keluarganya,  Yogi,  dan.. Tari nanar memandang foto terakhir di jurnal tersebut.  Gemuruh amarah bercampur luka itu kembali naik dari perut hingga menyesakkan di dada. 

Lelaki itu bahkan masih saja membuatnya terluka meski sosoknya sudah tidak lagi dekat dengannya. 

Setelah dia pergi,  hanya nama dan kenangan saja yang masih terlintas di hati dan pikiran.  Dan itu hal bebal yang teramat menyesakkan. 

Ditutupnya rapat-rapat jurnal miliknya, seolah ia berharap dengan menutupnya bisa pula menutup rapat-rapat luka yang masih basah di hatinya. 

Namun alih-alih mereda,  kini sesak itu terasa nyata, cairan bening sudah membasahi wajahnya. 

Dia menenggelamkan wajahnya di atas lengan yang ia buat menyilang di atas meja.  Sepuasnya ia menangis di sana. 

Mengapa luka itu tak kunjung sembuh padahal sejak lama mereka tidak bersua. Bahkan sejak lelaki itu yang tiba-tiba menghindarinya, sejak lulus pun ia tak pernah lagi bertemu meski beberapa kali seharusnya mereka bertemu dalam acara reuni kelasnya. 

Wonderwall - Sebuah Usaha Membangun RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang