Untuk yang kesekian kali, saya melirik jam dinding yang tergantung tepat di sudut paling strategis dari ruangan, pukul tujuh lebih dua puluh menit. Sebenarnya, seluruh tugas yang dihibahkan pada saya telah selesai sejak sepuluh menit lalu, namun peraturan kantor menetapkan saya dan pegawai lainnya untuk tidak pergi meninggalkan gedung sebelum pukul tujuh tiga puluh malam kecuali dalam keadaan mendesak.
Tentu tidak ada yang bisa saya lakukan selain menurut, selain saya hanyalah seorang perempuan yang berstatus anak baru di kantor ini, saya juga bukanlah tipe pembangkang yang akan menentang aturan-aturan formal karena sebagai seorang fresh graduate, saya juga mengakui telah merasakan sulitnya mencari pekerjaan.
Jadi, yang saya lakukan hanya merapikan meja sebelum benar-benar bangkit pergi dan pulang seperti hari-hari kemarin.
"Kamu udah selesai?"
Suara tidak asing terdengar di belakang punggung saya, membuat refleks saya memutar bangku sedikit dan menemukan seorang pemuda yang hampir setiap hari duduk tepat di belakang, namun mungkin ini salah saya yang tidak pernah benar-benar menyapanya.
Oh, jika saya tidak salah ingat namanya Bian, begitu beberapa orang memanggilnya. Tetapi saya hanya ingat bagaimana kebiasaan pemuda itu sering kali memaki ringan pada karakter musuh game online di laptopnya saat jam istirahat tiba.
"Udah, baru aja." Saya menjawab seadanya, balas tersenyum meski ia tahu ini akan terlihat sedikit terpaksa. "Tinggal nunggu jam pulang."
"Lahh, pulang aja kalau udah selesai mah." Bian berseru semangat seraya mengajarkan sedikit hal untuk melanggar peraturan kantor. "Daripada gabut? Kemalaman? Enggak bakal dimarahin ini, percaya dah."
"Enggak ah, enggak apa-apa tunggu sebentar."
"Oh, tahu, tipikal anak baru."
Belum sempat saya membela diri karena alasan utama saya bukan karena takut pada perintah atasan seperti apa yang ia pikirkan, Bian lebih dulu tertawa kecil dan entah mencari apa di dalam laci mejanya sampai berantakan, sedikit membuat saya sungkan melanjutkan obrolan, takut mengganggu. Maka saya kembali pada meja sendiri, menatanya ulang sembari berharap bisa cepat-cepat pulang agar terbebas dari suasana canggung antara saya dan beberapa senior di sekitar.
Namun, agaknya, Tuhan sedang tidak berpihak pada harapan muluk-muluk saya, sebab satu menit kemudian terdengar suara decit sepatu mendekat dengan tergesa-gesa.
Pemuda lain, ingatan buruk saya bahkan yakin pernah sesekali melihat wajah ini pada jam-jam istirahat atau sekadar melintas di selasar parkir.
Yang tidak saya sangka, ternyata sang pemuda justru mengulas senyum tipis sebelum akhirnya melanjutkan, "Rianka, bukan, ya? Yang anak baru itu?"
"Iya ... kenapa, ya?"
"Akhirnya." Sang pemuda tampak memasang wajah lega. Map hijau di tangannya kini telah berpindah pada spasi kosong di meja milik saya, menyisakan kerutan samar di dahi setelahnya. "Malik."
Merasa tidak bertanya atas apa, atas siapa nama barusan, atas alasan apa ia memperkenalkan diri secara mendadak kepada saya, jadilah kerutan pada dahi saya terasa semakin menebal. Sungguhan, saya paling benci akan situasi seperti ini.
"Ada pengajuan permintaan dari Pak Alanㅡbentar, kamu tahu Pak Alan, kan?"
Saya mengangguk singkat. "Tahu, malah dia yang ngajak aku kerja di sini."
"Nah, bagus. Jadi gini, Minggu depan kita tuh ada acara kecil-kecilan, yaa ... menyambut kerjasama antar kantor kita sama cabang kantor daerah yang lain, kamu pasti udah tahu. Kita rencananya mau bikin penampilan gitu, nyanyi. Bukan kita, sih, kayaknya aku doang." Malik menjeda, raut wajahnya menunjukkan air sedikit kesal. "Orang lain aku ajak enggak mau, makanya aku mau ajak kamu aja gitu. Mau, ya?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Why We Here
FanfictionPernahkah kamu bertanya, mengapa kita ada di sini? (Was) #1 - hajoon #1 - the rose [ Why We Here ; DAY6's ] ©2020, Nyctoscphile (200320ㅡ210828) All Rights Reserved.