Melodia ㅡ Tongkat Jalan

765 133 16
                                    

"Masih terasa perih?"

Jefri hanya menggeleng pelan sambil memegang tangan Luna yang sedang mengompres pipinya. Ia turunkan tangan Luna dari pipinya, lalu ia kecup tangan tersebut beberapa kali. Sedangkan Luna hanya termenung sambil menatap Jefri dengan tatapan iba. Entah mengapa perasaan di dadanya terasa sesak ketika melihat Jefri diperlakukan seperti itu oleh orang tuanya. Apalagi, dengan kondisinya yang seharusnya menjadi perhatian mereka, membuat Luna memahami alasan Juna yang sengaja menyembunyikan keadaan Jefri dari orang tuanya selama ini.

"Boba..."

"Iya? Kamu butuh sesuatu?"

"Kamu, aku membutuhkanmu." Timpal Jefri pelan.

"Tadi sudah kubilang jika aku akan terus berada di sisimu, bukan?"

"Bahkan sampai aku operasi nanti, kamu harus berjanji tidak akan pernah pergi dariku. Aku takut Juna tidak akan kembali, aku tidak mau sendirian seperti ini."

Luna menghela napas pelan lalu memeluk Jefri yang terlihat begitu rapuh. Sepertinya, Luna menjadi tidak tega untuk meninggalkan Jefri sendirian.

'Haruskah aku tetap tinggal bersamanya jika dia sudah bisa melihat kembali? Tapi, apakah Juna memang tidak akan kembali lagi? Tidak mungkin, dia pasti akan segera pulang. Aku yakin.'

"Bobaaaaa."

Jefri kembali bertingkah manja sambil menelusupkan wajahnya di dalam pelukan Luna. Ia memeluk pinggang Luna dengan posesif, seakan tidak mau jauh-jauh darinya. Luna pun hanya bisa memaklumi tingkah manja Jefri saat ini, mungkin saja memang selama ini dia tidak pernah mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya.

"Kamu belum mengantuk, Jef?"

Jefri menggeleng. "Belum. Aku takut jika aku tertidur nanti, kamu malah pergi meninggalkanku. Jadi, aku tidak akan tidur."

"Jefri, sudah berapa kali aku bilang kalau aku tidak akan pergi meninggalkanmu, hmm? Kalau kamu mau tidur sekarang, besok aku janji akan mengabulkan semua keinginanmu."

"Hmm, kalau begitu, aku ingin pergi berkencan denganmu."

Luna menaikkan sebelah alisnya. "Tidak jadi lusa?"

"Dua hari, besok dan besoknya lagi. Mau ya, Boba?" Pinta Jefri sembari menatap kosong ke arah Luna.

"Oke, yang penting kamu sekarang harus tidur, ini sudah larut malam."

Jefri mengangguk dan ia pada akhirnya bisa kembali tersenyum seperti sedia kala. Ia lantas berdiri dan segera merentangkan kedua tangannya, menunggu Luna untuk segera memeluknya. Luna hanya terkekeh dan langsung memeluk Jefri, dan tanpa ia sadari, Jefri segera menggendong tubuhnya untuk membawanya menuju kamar.

"Jef, turunkan aku."

"Tidak mau. Aku akan membawamu ke kamar, jadi kamu diam saja."

"Tapi, kamu harus menaiki tangga. Kalau kamu terpeleset, bagaimana?" Luna terus meronta ingin turun, tetapi Jefri tidak mau melepaskannya.

"Boba, aku sudah hapal dengan rumah ini. Tidak usah khawatir, instingku ini tajam."

Luna terus memberontak, namun Jefri juga tetap kukuh tidak mau menurunkannya. Luna hanya bisa pasrah dan memilih untuk mengalungkan tangannya di leher Jefri ketika lelaki itu mulai menaiki tangga dengan perlahan.

Ajaibnya, Jefri terlihat begitu santai ketika menaiki pijakan tangga satu per satu. Luna merasa kagum dan lantas menatap wajah Jefri yang kini sangat dekat dengan wajahnya, membuat Luna hampir terlena. Jefri terlalu tampan, bahkan nyaris sempurna jika dipandang dari jarak yang sangat dekat. Perlahan, tangan Luna mulai menyentuh alis Jefri, lalu turun ke matanya, hidungnya, dan kemudian bibirnya.

MELODIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang