RR 34

221 19 34
                                    

Arkan menatap khawatir ke arah Alletta yang terbaring lemah di ranjang pasien. Tangannya mengenggam erat tangan Alletta yang tidak terpasang infus. Matanya sudah berkaca-kaca, apalagi perkataan ayahnya terus saja terngiang di telinganya. Terlalu lama memikirkan semuanya membuatnya pusing dan tertidur di posisinya.

Beberapa fase kenyataan memang ada yang tidak sesuai harapan, bahkan di antaranya selalu mematahkan hati. Manusia akan merasa putus asa jika berada dalam fase ini atau bisa jadi mereka akan menolak kenyataan itu. Sama seperti Arkan yang kali ini ingin menolak kenyataan. Ia bahkan tidak pernah menyangka hal seperti itu terjadi pada dirinya. Membayangkan hal seperti itu pun adalah hal yang terburuk baginya, lalu bagaimana ia harus menjalani kenyataan itu.

Mata lentik Alletta akhirnya terbuka, ketika jam dinding menunjukan pukul 2 siang. Matanya menelusuri ruangan putih berbau khas obat itu dengan bingung. Perasaan bingung itu lenyap, ketika melihat Arkan yang tertunduk di atas lengannya. Pikirannnya langsung mengulang kejadian tadi pagi.

"Bodoh," gumam Alletta sambil menepuk dahinya.

Alletta meringis pelan membuat Arkan menegakan kepalanya linglung. "Le, lo ke napa? Apa yang sakit? Apa yang sekarang kerasa? Bagian mana? Gue panggilin dokter bentar!"

Alletta hanya menatap heran ke arah Arkan yang berlari ke pintu dengan langkah sempoyongan. Laki-laki itu tidak memeriksa keadaannya, tetapi kenapa sepanik itu? Alletta langsung tertawa kencang membuat Arkan menatap gadis itu.

"Arsen kenapa, sih? Letta gak apa-apa," ucap Alletta sambil bangun lalu duduk bersandar di kepala ranjang.

Arkan menatap Alletta yang tertawa bahagia. Ada sedikit rasa senang yang merayap dalam kalbunya, namun kali ini rasa sedihlah yang lebih mendominasi. Ia mematung di tempatnya dengan hati mencelos.

"Lihatlah tawa yang membahagiakan itu, akankah gue menikmatinya lebih lama, ketika waktu kematiannya telah ditentukan?" batin Arkan.

Alletta menghentikan tawanya, kemudian menatap dirinya penuh keheranan. Ia merasa aneh ketika Arkan menatapnya tajam seperti sekarang. Setelah merasa tidak ada keanehan pada dirinya, Alletta menatap Arkan lagi. Matanya membelalak ketika matanya melihat air mata turun di pipi Arkan.

"Arsen, Arsen ... nangis?" tanya Alletta.

Arkan mengerjapkan matanya dan mengusap pipinya yang terasa basah. Ia tidak menyangka bahwa dirinya menangis dan lebih tidak menyangka lagi ketika Alletta yang  pertama kali menyadari ia menangis.

"Mata gue kelilipan tadi," ucap Arkan sambil menggibaskan telapak tangannya di depan matanya.

Alletta tahu bahwa Arkan tadi menangis, tetapi memaksa laki-laki itu untuk jujur rasanya juga tidak akan berguna, dirinya tidak benar-benar tahu apa yang menghibur Arkan. Alletta memang tidak pernah tahu kesukaan Arkan karena memang laki-laki itu tidak pernah menyukai sesuatu benar-benar khusus atau bisa jadi dirinyalah yang tidak peka apa yang sangat disukai Arkan.

Situasi berubah canggung, ketika Arkan kembali ke sisi ranjang Alletta. Keduanya bergeming tanpa suara, mereka tidak tahu apa yang harus mereka ucapkan atau lebih tepatnya mereka takut salah mengungkapkan sesuatu.

"Sen, Letta mau pulang," ucap Alletta pelan.

"Kali ini ... gue gak mau lo pergi dari rumah sakit ini. Mau kan nurut sama kata-kata gue?"

Alletta menatap mata Arkan yang penuh kekhawatiran. Mata inilah yang membuatnya tidak bisa lama menatap Arkan. Ia tidak suka dikhawatirkan, apalagi untuk hal-hal yang ia sendiri tidak tahu itu apa. Hatinya mendadak luluh jika menatap laki-laki itu, walau hanya beberapa saat.

"Le, kalau lo mau pul--"

"Letta akan di sini!" potong Alletta cepat.

Arkan memeluk Alletta dengan hati-hati seakan-akan gadis itu akan hancur, jika di peluk erat. Pelukan hangat itu membuat Alletta heran, biasanya ia dapat pelukan Arkan ketika dirinya tengah sedih atau takut, tetapi sekarang?

"Sen, ka--"

"Gue sayang sama lo. Gue beneran sayang sama lo. Jangan pernah berpikir buat lari dari pelukan gue dan lebih parah lagi jangan lari ke pelukan orang lain!" Arkan mengucapkan itu sambil terisak membuat Alletta tahu bahwa laki-laki itu tengah menangis.

Tidak ada hal yang dipikirkan Alletta saat ini, ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya saat ini, dan ia juga tidak tahu apa yang harus diucapkannya saat ini. Dengan sedikit cemas, Alletta melepaskan pelukan Arkan. Ia menyeka air mata di pipi laki-laki itu dengan pelan.

"Letta juga sayang Arsen. Letta gak akan pergi ke pelukan orang lain sekali pun Arsen yang minta. Letta janji hal itu sama Arsen. Bisa ceritakan alasan Arsen nangis?" tanya Alletta lembut.

"Gue cuma khawatir, Le. Gue sedih liat lo sakit. Tuhan gak adil pada lo! Tuha--"

Alletta menyinpan telunjuknya di depan bibir Arkan, sehingga membuat laki-laki itu terdiam.

"Jangan menyalahkan Tuhan! Letta bahagia menerima takdir ini, tetapi Letta gak senang ada orang yang menyalahkan takdir Tuhan yang Letta punya. Ini sakit biasa, Sen. Letta juga akan sembuh nanti. Letta sedih, ketika menyadari laki-laki yang mengkhawatirkan Letta adalah laki-laki yang Letta temui di dunia, bukan laki-laki yang menyebabkan Letta ada di dunia," Alletta tersenyum menatap Arkan yang malah diliputi rasa bersalah.

"Le, gue minta ma--"

"Dalam ikatan persahabatan itu gak ada yang namanya minta maaf. Oelh karena itu, mulai sekarang jangan ucapkan itu. Seburuk apapun kesalahan yang Arsen lakukan, Letta maafin. Dan tolong Arsen juga lakuin itu untuk Letta."

"Akan gue ingat semua kata-kata lo ini. Sekarang, lo mau makan atau tidur?" tanya Arkan mengalihkan pembicaraann.

"Letta mau istiahat. Tapi ... perut Letta lapar banget."

Alletta cemberut membuat Arkan menarik senyumnya. Alletta ikut tersenyum melihatnya dan berkata, "Nah, bagus! Jangan nangis. Cowok kayak Arsen dilarang nangis, apalagi nangisnya gara-gara manusia kayak Letta."

"Cowok juga manusia kali, Le." Arkan mencibir.

"Letta pernah baca pepatah, katanya 'anak pertama itu hatinya harus sekuat baja' jadi kalau nangis harus nunggu baja itu hancur dulu," ucap Alletta.

"Le, lo abis gak sadarkan diri, bukannya makin pinter, malah makin gak nyambung. Pantes langsung semangat gitu pas bangun, kata-katanya lancar gitu."

"Ih, Arsen kebiasaan buruknya kambuh. Jangan suka hina Letta! Kalau Letta benci sama Arsen kan repot."

"Sekali lo berani benci gue, gue sendiri yang akan hukum diri gue sendiri."

"Arsen? Ini Arsen, kan? Kok, lebay gitu? Arsen tadi makan di sini, ya? Jadi obat nya masuk ke tubuh Arsen? At--"

"Berisik! Sekali lo ngomong, gue bekap tuh mulut," ucap Arkan.

"Menyebalkan," gumam Alletta, tetapi masih dapat didengar Arkan.

💙💙💙💙💙
Happy reading guys
Jangan lupa mention for typo
To be continue.

Rahasia Rasa (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang