RR 48

247 14 1
                                    

"Bun, Letta gak usah dioperasi." Alletta berucap lemah dalam keadaan berbaringnya.

"Kenapa?" tanya Hana sambil membenarkan selimut Alletta.

"Letta tetap akan mat--"

"Stop! Bunda gak suka kamu ngomong gitu. Kamu harus memiliki semangat hidup, Ta. Setelah operasi, kamu akan sembuh. Ibu tidak akan mau maafin kamu kalau kamu gak mau ikut operasi. Bunda juga gak akan mau ketemu sama kamu lagi," ancam Hana dengan tangis yang tertahan.

Alletta tidak melanjutkan kata-katanya lagi, ia sudah membujuk ibunya untuk membiarkan ia mati saja daripada terus melakukan pengobatan yang malah menyiksanya lebih lama. Ia sudah tidak kuat menanggung semuanya, tetapi hatinya tidak tega membuat semua orang yang mendukungnya kecewa. Ia beberapa kali menolak karena pengobatan yang ia lakukan begitu mahal bahkan operasi yang mempunyai keberhasilan dua persen pun pasti harganya selangit. Ia tidak suka merepotkan orang lain apalagi hanya untuk menahannya hidup menderita lebih lama. Ia juga tidak mau menghamburkan uang orang tuanya karena ia yakin dirinya juga pasti mati. Alletta belum menyetujui operasinya dan mungkin tidak akan menyetujui itu semua. Ia sudah merepotkan kedua orang tuanya bahkan sudah sebulan ia hanya bisa berbaring seperti saat ini.

Kondisi Alletta bisa dibilang sangat buruk. Tubuhnya semakin kurus, rambutnya rontok, ia tidak bisa melakukan kegiatan apa pun selain berbaring, matanya sudah kurang jelas melihat, makanan pun hanya masuk lewat infus, dan Alletta hanya bisa berbicara lemah menaggapi orang-orang di sekitarnya. Ia hanya memanfaatkan telinganya yang masih berfungsi sempurna untuk mengenali orang-orang yang ada di sekitarnya.

"Bun, Arsen gimana?" tanya Alletta pelan.

Tangisan Hana semakin pecah dan membuatnya menutup mulutnya agar anaknya tidak mendengar tangisnya. Bagaimana mungkin anaknya yang tak berdaya itu masih menayakan kabar orang lain? Hana menghela napas mencoba menghentikan tangisnya. Ia kembali mendekat ke arah anaknya.

"Apa kamu mau bertemu Arkan? Biar Arkan nanti Bunda suruh ke sini," ucap Hana.

Alletta yang menggeleng. "Jangan suruh Arsen ke sini. Alletta mau sesuatu dari Bunda."

"Kamu mau apa?"

"Letta mau operasi besok," ucap Alletta membuat Hana mematung kaget.

"Benarkah?"

"Ya. Ada syaratnya."

"Syarat apa?"

Alletta berkata terbata menjelaskan syarat yang ia ajukan. Hana hanya mendengarkan dengan saksama sambil sesekali mengusap air matanya karena syarat yang diberikan putrinya. Ia bahkan tidak lagi menahan isakannya membuat Alletta berkali-kali minta maaf karena membuat ibunya menangis.

"Bun, air mata Letta udah habis buat karena penderitaan Letta. Jadi jangan keluarin air mata  agar derita Letta juga gak keluar lagi," ucap Alletta sebelum kesadarannya habis.

⭐⭐⭐⭐⭐

"Beneran gak mau dibantu jalan atau mau pakai kursi roda?" tanya Lina khawatir.

"Gak usah, Bun. Aku udah bisa jalan sendiri meski masih agak gemetar. Lagi pula, hanya kaki kiri yang luka dan setelah terapi ini lebih baik," ucap Arkan sambil memasuki mobilnya.

Arkan memang pulang dari rumah sakit hari ini. Setelah kejadian Arkan pingsan tiga hari lalu, sedikit memorinya bertambah. Ia mengingat wajah dan nama gadis selain Alletta. Ia ingin bertemu gadis itu dan bertanya banyak hal. Gadis itu nampaknya termasuk teman Alletta karena ketika ia berada di rumah sakit, ia hanya melihat gadis itu di ruangan Alletta. Ia juga sudah memeriksa ponselnya dengan sangat teliti. Namun, tidak ada hal lain di dalamnya selain foto dan video Alletta dan beberapa lagi adalah foto dirinya dengan Alletta. Tidak ada foto dan video lain di dalamnya. Ia masih belum mengerti dan ia harus segera menyelesaikan kebingungannya hari ini juga. Ia perlu merangkai semua bayangan yang ada di pikirannya kembali lagi seperti dulu.

"Kamu mau ketemu sama Agatha di mana?" tanya Rifki yang mengendarai mobil.

"Dia bilang, dia mau ke rumah karena aku tidak tahu di mana tempat-tempat di sini," ucap Arkan membuat Rifki hanya mengangguk.

"Kenapa kamu ingin bertemu dengannya, Nak?" tanya Lina heran.

"Di ingatanku, dia adalah pacarku."

Rifki dan Lina saling pandang, tetapi tidak mengeluatkan sepatah kata pun. Mereka yakin Arkan tidak pacaran dengan siapa pun dan ingatan Arkan pasti kembali dengan acak membuat anak mereka menyimpulkan seperti itu. Mereka cukup senang karena anaknya sudah sembuh dari lumpuhnya dan tinggal menunggu ingatan Arkan kembali seperti dulu.

⭐⭐⭐⭐⭐

"Gue bukan pacar lo," ucap Agatha di hadapan Arkan.

"Tapi ... kenapa gue nembak lo?"

"Itu bukan nembak dia, kamu dulu nolongin tunangan saya," geram Syahdan karena Arkan terus saja menganggap Agatha sebagai pacarnya.

Agatha tertawa melihat Syahdan yang berwajah kesal membuatnya ditatap aneh oleh Arkan dan Syahdan. Dia memudian berucap, "Aduh, Maaf. Gue ngakak tau, tunangan gue posesif banget," ucap Agatha sambil merangkul lengan Syahdan.

"Kalau gue bukan pacar lo, lalu siapa pacar gue?"

Syahdan dan Agatha saling menatap kemudian tertawa bersama membuat Arkan heran. Pertanyaan yang dilayangkan Arkan seperti lelucon bagi mereka. Mereka dulu mengenal Arkan yang dingin, sombong, dan tidak banyak bicara kini begitu berbeda. Beruntung, Agatha sudah memindahkan hatinya ke Syahdan, kalau tidak dia pasti meleleh karena akhirnya ia dianggap pacar.

"Mana kita tahu kamu pacarnya siapa, tapi sepertinya kamu ada apa-apa sama Alletta. Kamu selalu menganggap dia seperti hal berharga yang harus kamu lindungin dan kamu terlihat cinta banget sama dia," ucap Syahdan yang langsung disetujui Agatha.

"Kenapa kalian nganggap gitu?"

"Lo tanya aja ke seluruh pelosok sekolah, mereka pasti jawab sama katak kita. Sekali lagi gue minta maaf soal kecelakaan itu," ucap Agatha.

"Bukan salah lo, kok."

"Oh iya, waktu itu Alletta ngasih gue ini." Agatha memberikan sebuah kalung berbandul bulat pada Arkan.

Arkan menatap kalung itu dengan pandangan heran. Ia berusaha mengingat di mana ia pernah melihat kalung ini sebelumnya. Ia memegang kepalanya membuat Syahdan dan Agatha meneguk ludahnya kasar karena kaget. Mereka mendekat ke arah Arkan yang berbicara sendiri, sekali-kali menjambak rambutnya sendiri dan menutup rapat matanya karena kepalanya begitu sakit.

"Arkan, lo kenapa?" tanya Agatha dengan nada khawatir.

Arkan membuka matanya dengan napas terengah-engah, ia berdiri dari kursinya, kemudian berjalan sempoyongan ke arah luar. Agatha hanya bergeming di tempatnya, sedangkan Syahdan menatap Arkan dengan pandangan heran.

⭐⭐⭐⭐⭐

"Ini pasti rumahnya!" seru Arkan pada dirinya sendiri ketika melihat rumah mewah di depannya.

Ada sedikit ragu dalam hatinya karena terburu-buru mengambil keputusan hanya karena meluhat sekilas bayangan. Ia langsung mengingat rumah seseorang dan seperti sudah terbiasa ke sini, ia sama sekali tidak tersesat di jalanan tadi.

"Arkan? Lo ngapain di sini?"

💙💙💙💙💙
Happy reading
Mention for typo
To be continue

Rahasia Rasa (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang