RR 38

218 14 32
                                    

Bel istirahat nyaring berbunyi, membuat beberapa siswa bersorak gembira, bahkan beberapa di antaranya ada yang langsung keluar kelas karena merasa muak dengan tugas hari ini, itu semua karena guru yang akan mengajar berhalangan hadir. Anak-anak yang pandai di kelas sebelas IPA tiga terkenal begitu pelit dengan yang namanya contekan, sehingga membuat anak lain yang tidak mengerti apa yang harus mereka isi, akhirnya menyerah dan tidak mengerjakan tugasnya.

"Sen, Letta belum ngerjain tugasnya," cicit Alletta pelan sambil mengguncang tubuh Arkan.

Arkan menggeliat, kemudian menatap Alletta di hadapannya dengan tatapan heran. Laki-laki itu menatap sekeliling. Namun, matanya tidak menangkap sosok lain selain Alletta, Syahdan, dan Bara. Suasana kelas begitu sepi, membuat Arkan bersiap untuk tidur lagi.

"Sen, jangan tidur lagi!" seru Alletta membuat Syahdan dan Bara menoleh ke belakang.

"Eh, bukan ke kalian, kok." Alletta cengengesan.

"Gue ngantuk," ucap Arkan.

Aletta mendekus, ketika melihat Arkan kembali ke posisinya yang tidur, gadis itu menjadi kebingungan sekarang, apalagi waktu istirahat hanya lima belas menit. Ia jadi menyesal karena tadi terlalu fokus menggambar, hingga lupa bahwa ada tugas yang akan dikumpulkan hari ini. Di pikirannya, ingin sekali meminta bantuan Syahdan, tetapi sejak pagi ia datang, laki-laki itu tampak menjauh dan belum berbicara sepatah kata pun. Ia menjadi bingung sendiri, ditambah sakit perutnya kembali terasa, dan pening di kepalanya kembali datang.

"Letta harus ke toilet," batin Alletta.

Gadis itu berdiri, mengambil sebungkus tisu dari tasnya, kemudian langsung pergi dari kelas. Beruntung, toiletnya dekat dengan kelas dan hanya terhalang oleh satu kelas. Alletta langsung masuk ke salah satu bilik toilet, ia tidak mau ada orang yang melihatnya, apalagi ini adalah toilet umum.

"Letta gak lelah hari ini, tetapi kenapa mimisan lagi?" batin Alletta sambil mengusap bagian bawah hidungnya yang terkena darah.

Setelah dirasa bersih, Alletta membuang tisu ke tempat sampah di pinggir kloset. Ia mengambil tisu lain untuk menyumpal hidungnya. Setelah itu, ia berdiri dari duduknya untuk kembali ke kelas. Namun, suara seorang gadis terdengar di bilik sebelahnya, membuatnya penasaran. Suara gadis itu tampak tidak asing, sehingga Alletta duduk kembali untuk mendengarkan gadis itu. Ia memang ingin tahu, siapa pemilik suara itu.

"Bu, aku gak mau lagi ikutin kata-kata ayah. Aku juga mau menentukan pilihanku sendiri. Lagi pula, aku tidak ingin menyakiti orang lain hanya karena harta, Bu."

Alletta mengeryit heran, ia berpendapat bahwa suara ini adalah suara Agatha, tetapi nada suara itu tampak tengah sedih. Alletta tidak pernah melihat Agatha yang sedih, karena gadis itu selalu terlihat sombong, bahkan selalu membuat orang sedih, termasuk dirinya. Alletta menggelengkan kepalanya, mengusir pikiran buruk tentang Agatha.

"Agatha juga manusia, sejahat apa pun dia, pasti pernah berada di titik sedih." Alletta membatin.

"Apa aku hanya mainan untuk kalian? Apa perasaanku hanya sebuah hal kecil yang tidak boleh dipedulikan? Apa aku tidak boleh memiliki pendapat sendiri?" lirih Agatha.

Alletta menahan tangisnya, ketika mendengar pertanyaan-pertanyaan Agatha yang menyayat hatinya. Alletta tidak menyangka bahwa gadis yang pernah jahat padanya ternyata hanya gadis yang terluka. Agatha pasti tidak ingin terlihat terluka di depan orang-orang, sehingga berpura-pura angkuh.

"Bukannya aku tidak ingin patuh, Bu. Kalian selalu memaksaku melakukan hal yang tidak pernah aku setujui, seharusnya aku tidak sekolah di sini, tidak pernah mengikuti keinginan kalian, mungkin aku tidak menderita sendirian seperti ini. Maafkan aku, aku tidak ingin lagi mengikuti keinginan kalian. Sudah cukup! Aku muak, Bu."

Alletta tidak kuasa mendengar perkataan itu lebih lanjut, ia segera membuang tisu yang menyumpal hidungnya, kemudian, ia keluar dari bilik toilet menuju kelasnya. Ia langsung duduk di bangkunya, lalu menatap Arkan yang tengah mencatat. Alletta menatap sekelilingnya, memastikan tidak ada orang lain di kelas ini.

"Kenapa?" tanya Arkan, melihat Alletta yang terlihat tidak nyaman di bangkunya.

"Sen."

"Hm?"

"Sen."

"Apa?"

Alletta menangis, membuat Arkan menghentikan kegiatan menulisnya, lalu memeluk gadis itu. "Kenapa nangis, Le?"

Alletta makin terisak, pelukan Arkan memang yang paling istimewa. Arkan tidak pernah menyuruh Alletta berhenti menangis. Menurut laki-laki itu, sebuah tangisan lebih menenangkan seseorang ketika bersedih daripada perkataan orang lain yang mencoba menenangkannya. Arkan memang selalu mengerti semuanya, tidak peduli Alletta menjelaskan semuanya atau tidak.

"Le, lima menit lagi masuk," ucap Arkan sambil melihat jam tangannya.

Arkan meraih tisu di atas meja, kemudian menyeka air mata di pipi Alletta dengan pelan. Arkan sebenarnya penasaran dengan alasan gadis itu menangis, ia takut Alletta menangis gara-gara rasa sakit dari penyakitnya, tetapi niatnya bertanya kembali harus ia urungkan, ketika melihat Alletta yang tersenyum.

"Udah baikan?" tanya Arkan.

Alletta mengangguk, kemudian ia mengambil ponsel untuk becermin. Ia mengerucutkan bibirnya kesal, ketika melihat matanya merah dan terlihat bengkak. Alletta menyesal melakukan sesuatu yang seharusnya tidak ia lakukan. Lagi pula, menangis pun tidak akan menyelesaikan masalah Agatha. Mengingat nama itu, Alletta merasa iba, ia harus mendekati gadis sombong itu tidak terluka sendirian, terlebih Agatha adalah orang yang nekat, membuat Alletta khawatir.

⭐⭐⭐⭐⭐


"Gue udah lama gak ikut basket, mau nungguin gue atau gue anter pulang dulu?" tanya Arkan pada Alletta.

"Letta mau ikut basket, boleh?"

"Ck, kebiasaan. Kalau gue nanya itu harusnya lo jawab, bukan malah nanya lagi. Gue gak izinin lo ikut basket! Lagipula, kaki lo kan belum sembuh, terus tadi lo bilang sakit perut. Basket itu capek! Nanti...."

"Jadi gak boleh?" Alletta menatap Arkan dengan pandangan sedih, membuat laki-laki mengalihkan pandangannya.

"Gue anter pulang aja! Kita ke ruang guru dulu."

Arkan berjalan terlebih dahulu membawa buku tugas, kemudian disusul Alletta yang berjalan sambil menghentakan kakinya pertanda kesal. Laki-laki di hadapan Alletta menghela napas pelan, ini kali pertamanya menolak keinginan Alletta, ada rasa tidak nyaman di hatinya.

Arkan dan Alletta menuju ruang guru dan menyimpan buku tugas mereka. Jika bukan karena Alletta, Arkan tidak mungkin sudi mengerjakan tugas itu, apalagi menginjakkan kaki di ruang guru. Ia begitu anti dengan tempat-tempat di sekolah ini, selain kelasnya, kantin, dan lapangan basket. Setelah dari ruang guru, mereka pergi ke parkiran.

"Ta!" panggil seseorang membuat Alletta menoleh.

"Bara? Bara mau latihan basket, ya?" Alletta melihat Bara yang menggunakan baju oblong yang biasa digunakan orang untuk bermain basket.

"Iya, katanya hari ini ekstrakurikuler basket."

"Bara naik apa ke sini?" tanya Alletta lagi.

"Gue naik mobil, kenapa?"

Arkan merutuk dalam hati, ia tahu apa yang akan dikatakan Alletta kali ini. "Le, gue ajak lo beli ice cream hari ini. Kita harus segera pulang, takutnya nanti hujan, gue gak bawa mobil."

Alletta pindah ke sisi Bara, kemudian menatap Arkan dengan senyum lebarnya. "Arsen, duluan aja! Letta pulang sama Bara. Bolehkan, Bar?"

"Gue gak iz--"

"Boleh, kok." Bara memotong perkataan Bara.

💙💙💙💙💙
Happy reading
Mention for typo
To be continue

Rahasia Rasa (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang