RR 35

224 18 12
                                    

"Bun, Arsen belum kembali ke sini?"

"Astaga! Bunda sampai bosen jawab pertanyaan kamu. Dia akan ke sini jam 8 malam."

Hana mendengus kesal sambil melihat anaknya yang tersenyum lebar. Dari pukul 6 sore, anaknya selalu menanyakan keberadaan Arkan, padahal Arkan baru pamit pulang pukul 5 sore. Telinganya sedari tadi begitu panas mendengar cerocosan Alletta mengenai kakinya yang melepuh dan cerita tentang Arkan. Bibirnya juga terasa ingin lepas menjawab pertanyaan sama yang berulang kali dilayangkan Alletta.

Hana memang berbeda dari kebanyakan ibu, ia selalu mementingkan anaknya dari hal kasih sayang karena ia tidak mau anaknya merasakan kesedihan karena tidak dapat kasih sayang seorang ayah. Ia tidak pernah cerewet pada anaknya, sehingga ia heran kenapa anaknya bisa secerewet itu. Ia tidak pernah memarahi Alletta apalagi menceramahi anaknya untuk melakukan atau akan suatu hal. Beruntung, Alletta tidak memanfaatkan hal tersebut untuk melakukan hal yang melanggar aturan. Ia sedikit bersyukur memiliki anaknya yang tumbuh dengan baik meski tidak didampingi ayahnya.

Hana tidak ingin Alletta kekurangan kasih sayang dari sosok ayah, sehingga ia tidak berani untuk cerai dari Rio, tetapi keputusan yang ia ambil ternyata salah. Ia tidak pernah melihat putrinya berinteraksi dengan suaminya, bahkan semenjak kejadian Rio menamparnya untuk pertama kali, laki-laki itu tidak pernah terlihat di rumah. Saat ia kecelakaan pun, suaminya tidak datang. Hal tersebut membuatnya membulatkan tekad untuk cerai dari Rio. Ia tidak mau menerima uang yang Rio beri untuk dirinya dan Alletta. Ia tidak perlu itu, bahkan  jika memilih antara setumpuk uang dan waktu semenit bercengkrama dengan Rio, maka pilihannya akan jatuh pada opsi yang kedua.

Rio yang dulu tidak pernah kasar, bahkan terkesan begitu baik. Rio dan Hana memang menikah karena dijodohkan, tetapi mereka tidak menolak semuanya. Mereka juga bahagia, apalagi ketika Alletta lahir di dunia. Rio berubah menjadi cuek, ketika umur Alletta mencapai 7 tahun. Entah apa yang membuat laki-laki itu berubah dan bahkan jarang pulang. Tepat umur Alletta 10 tahun, Rio melayangkan gugatan cerai, namun tidak pernah ditanda tangani oleh Hana dengan alasan Alletta.

"Bunda!" teriak Alletta membuat Hana tersadar dari lamunannya.

"Apa? Bunda udah bilang kalau Arkan akan kem--"

Alletta menangis membuat Hana segera meletakan pisau buah dan buah yang dipegangnya. Hana membelalakan mata melihat tangannya yang berdarah. Ia tidak menyadari dirinya melukai dirinya hanya dengan membayangkan Rio. Dalam hati kecilnya masih ada sedikit harapan Rio kembali seperti dulu, namun melihat Alletta yang baik-baik saja, membuat ia yakin berpisah dengan laki-laki itu.

Alletta turun dari ranjang, ia menghampiri Hana sambil membawa tisu dan satu tangan yang lain digunakan untuk menarik gagang  infus. Ia tidak suka melihat Hana yang sering sekali melamun dan lebih tidak suka lagi, ketika ayahnya yang menjadi penyebab Hana seperti ini.

"Jangan melamun terus, Bun! Mau Letta panggilkan dokter?" tanya Alletta khawatir.

"Bunda gak apa-apa, Ta. Gak usah panggil dokter. Bunda mau tanya sesuatu, boleh?"

"Letta kan gak pinter-pinter banget, Bun. Tetapi, Letta janji bakal jawab pertanyaannya, kok."

Hana tersenyum sambil menyeka darah di jarinya. Ia harus segera menyelesaikan semuanya mulai dari sekarang, ia tidak mau lagi memikirkan hal-hal yang seharusnya tidak ia pikirkan, dan yang lebih penting dari semuanya, ia harus fokus pada Alletta.

"Ta, kalau Bunda cerai sama ayah kamu gimana? Kamu mau ikut Bunda, kan?"

Pertanyaan itu membuat hati Alletta sedikit kaget, meski ekspresinya masih tersenyum. Alletta menatap ibunya yang menatap dirinya dengan tatapan penuh harap, takut Alletta menolak.

"Bun, Letta akan selalu ikut bunda dan masalah cerai, silahkan bunda sendiri yang memutuskan. Letta tidak mengerti apapun tentang itu." Alletta tersenyum.

Hana menarik anak gadis semata wayangnya ke dalam dekapannya. Ia senang putrinya mengambil keputusan untuk selalu bersamanya. Keputusannya menjadi tekad yang kuat, ia tidak peduli haru jadi janda dan membesarkan Alletta sendirian, karena hal itu sudah ia lakukan, ketika Alletta berumur 7 tahun.

"Bunda senang kalau kamu mau ikut keputusan bunda. Bunda selalu berpikir kamu butuh kasih sayang seorang ayah, tetapi melihatmu tegar seperti ini, membuat bunda sadar kalau keputusan untuk mempertahankan ayahmu adalah salah. Bunda minta maaf sudah menjadi ibu yang gagal untukmu," ucap Hana sambil menangis.

"Lihatlah! Letta menjadi beban orang lagi. Bunda menderita gara-gara Letta. Kenapa Letta selalu jadi parasit buat semua orang?" batin Alletta sambil menangis.

Hana yang merasakan tubuh anaknya bergetar, akhirnya berhenti menangis. Bukan ini yang ia harapkan, tetapi ia mengerti perasaan anaknya. Bukan karena ia pernah mengalami itu, tetapi karena ikatan antara ibu dan anak ada di antara mereka.

"Ta, ini udah malam, sebaiknya kamu tidur, bunda mau beli plester dulu."

Hana menuntun Alletta ke tempatnya, membantu ia berbaring, dan menyelimuti anak gadisnya dengan sayang. Mereka tidak menyadari seorang laki-laki menahan air matanya. Laki-laki yang membuat dua perempuan yang menangis di dalam ruangan itu. Ya! Orang itu adalah Rio. Seorang ayah dan suami yang gagal, tetapi ini semua bukan keinginannya. Biarlah ia sendiri yang disalahkan karena memang inilah kesalahannya. Dengan langkah cepat, ia pergi dari depan ruangan itu, ketika melihat Hana akan keluar dari ruangan itu.

Hana meninggalkan Alletta yang terbaring dengan pandangan sedih. Ia memukul kepalanya yang terasa sakit lagi. Ia tidak suka rasa sakit ini, apalagi ketika kondisi hatinya tengah rapuh seperti ini. Meski kata orang rasa sakit hati lebih sakit dari sakit fisik, berbeda dengan pendapat Alletta, ia lebih tidak menyukai sakit fisik yang membuat semua orang khawatir daripada luka hati yang bisa ditutupi dengan sebuah senyuman palsu.

Sebuah tangan menghentikan tangan Alletta yang memukul kepalanya sendiri. "Le, lo jangan sakiti diri sendiri!"

"Arsen, kepala Letta sakit! Kalau Letta pukul kepala Letta, sakitnya sedikit berkurang," lirih Alletta membuat Arkan lagi-lagi memeluk Alletta erat.

"Kalau lo sakit, lampiaskan rasa sakit itu ke gue, Le. Jangan pernah sakiti diri lo sendiri."

Alletta menangis hingga ia tertidur di pelukan Arkan. Arkan baru menyadari gadis itu tertidur, ketika suara dengkuran terdengar di telinganya.

"Kebiasaan kalau gue lagi ngomong banyak, lo tidur." Arkan tersenyum sambil membenarkan posisi Alletta agar tidur nyenyak.

Arkan memicingkan matanya tajam ketika melihat sebuah noda darah di lengan baju Alletta. Ia panik dan segera keluar dari ruangan itu, tetapi baru sampai pintu ia bertemu dengan Hana.

"Kamu mau ke mana?" tanya Hana heran melihat wajah panik Arkan.

"Tan-- ehh Bunda, tadi aku liat noda darah di lengan baju Alletta," ucap panik Arkan.

Hana langsung berlari dan menghampiri Alletta, kemudian memeriksa lengan baju. Arkan menunjuk lengan baju yang ada darahnya, kemudian Hana yang tadi khawatir langsung tertawa kencang.

"Arkan, ini luka bunda. Tadi waktu meluk Alletta, Jari Bunda berdarah." Hana menunjukan jarinya yang terbalut plester.

Arkan menghela napas lega. "Syukurlah. Bunda gak apa-apa, kan?"

"Seperti yang kamu lihat, bunda baik-baik aja," ucap Hana sambil tersenyum.

"Bunda udah ketemu sama papah?"

"Rifki?" tanya Hana memastikan.

"Iya."

"Bunda belum ketemu sama Rifki. Rencananya mau nunggu Alletta tidur dulu. mungkin sekarang kalau dia gak lagi sibuk."

"Bunda harus ketemu secepat mungkin sama Papah."

Hana hanya menganggukan kepala, ketika melihat wajah Arkan yang begitu serius dan tampak rasa sedih di wajah anak laki-laki itu. Mungkinkah terjadi hal tak terduga pada Alletta?

💙💙💙💙💙
Mention for typo
Happy reading guys
To be continue


Rahasia Rasa (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang