RR 43

175 14 0
                                    

"Bara jangan bohong!" teriak Alletta.

"Gue gak bohong sama lo. Gue mewakili beliau buat minta maaf sama lo! Setiap kali gue liat beliau di rumah, beliau pasti melamun dan kemarin gue baru tahu kalau itu foto lo sama seorang perempuan, yang gue tebak pasti adalah nyokap lo. Gue gak maksa lo buat percaya sama ucapan gue. Gue juga gak maksa lo buat maafin beliau, tapi setidaknya jangan menyimpan prasangka buruk tentangnya. Dia malaikat buat gue dan nyokap gue," ucap Bara sambil menyodorkan sebuah foto kusam yang bahkan sudah tidak lagi seperti foto.

"Haha. Malaikat? Dia itu iblis! Dia itu bajingan! Dia itu gak bertanggung jawab. Dia itu setan! Biadab! Bukan manusia!" teriak Alletta lalu menangis.

Suasana hening itu hanya diisi tangisan Alletta yang begitu menyayat hati. Bara ingin sekali mendekat dan merangkul gadis itu, tetapi melihat sorot mata gadis itu, ia lebih tidak tega memeluknya. Ia mengerti kesedihan Alletta saat ini, ia pun pernah merasakan kesedihan bercampur amarah seperti dulu. Sebenarnya ia tidak ingin melihat ekspresi Alletta seperti ini, tetapi ia lebih tidak ingin seseorang yang telah membesarkan dan merawat ibunya terus saja bersedih.

"Ta, beliau hanya pulang seminggu sekali ke sini untuk melihat gue dan dulu waktu nyokap gue masih hidup beliau yang merawatnya. Sisanya dia selalu bekerja dan terus bekerja. Gue kasihan sama dia, Ta. Jangan egois, dia bokap lo!" Bara berdiri sambil menujuk Alletta.

"Egois? Katakan di bagian mana Letta egois? Di bagian mencoba tegar saat tidak ada seorang ayah memedulikan anaknya? Di bagian berpura-pura senang melihat kedekatan orang lain dengan ayah mereka? Di bagian tanggung jawab seorang anak yang tidak ingin ibunya terluka? Jawab! Letta ingin tahu seberapa egois Letta menurut Bara! Bara mungkin bisa membelanya karena jasanya menolong Bara, tapi bisakah Bara posisikan diri Bara di posisi Letta? Bara gak akan ngerti! Selama sepuluh tahun dia mengacuhkan kami, dia bahkan hanya datang hanya untuk menyakiti Bunda Hana dengan kekerasan fisik, dia terlalu perhitungan untuk jadi kepala keluarga, dia gak pernah ingat nama Letta, bahkan terakhir kali Letta ketemu sama dia, dia bilang Letta adalah anak tidak tahu diri. Bisa Bara bayangkan semua itu! Harusnya Bara lihat dia dari beberapa sisi! Tidak ada malaikat berwujud manusia dan semua manusia sama, pembuat salah. Jika dia selalu memikirkan kami, harusnya dia minta maaf. Bukti nyatanya, tidak ada sedikit pun maaf yang terucap dari bibir busuknya. Maaf jika kata-kata Letta menyakiti Bara. Letta emang seperti ini dan jangan buat ulah apalagi bilang sama Bunda Hana. Beliau sudah cukup lelah mengurusku sendirian selama sepuluh tahun terakhir, beliau kerja siang dan malam untuk Letta, jadi Letta mohon jangan tambah pikirannya dengan oming kosong Bara. Letta mau pulang!" ucap Alletta, kemudian berlari dari hadapan Bara.

Alletta meninggalkan Bara yang mematung di tempatnya. Rasa bersalah menyeruak memenuhi dadanya. Ia benar-benar tidak tahu kalau ternyata Rio berbuat seperti itu pada Alletta dan Ibunya Alletta. Kakinya gemetar membuatnya jatuh terduduk, air matanya tertahan di pelupuk matanya, dan tanpa diduga air mata mengalir di pipinya. Biarkan saja jika ada yang bilang laki-laki berbadan Atletis sepertinya, menangis karena ucapan wanita yang notabenenya adalah adik tirinya. Ia ikut merasakan hal yang Alletta rasakan. Mungkinkah Rio melakukan itu untuk dirinya dan ibunya. Memikirkan lebih lanjut membuatnya marah pada diri sendiri. Ia berdiri dan menendang serta memukul benda di depannya. Ia kini menyesal dan ia harus minta maaf, tetapi sebelumnya ia harus memastikan sesuatu dulu.

Di sisi lain, Alletta mencoba untuk tidak menangis sambil menyusuri jalan. Beruntung, ada taksi lewat di depannya membuatnya menghela napas lega. Setidaknya, ia tidak akan tersesat dan bisa membayar ongkosnya di rumah karena ia tidak membawa uang sepeser pun.

⭐⭐⭐⭐⭐

Semalam, Alletta mengobrol dengan Hana. Ia tidak menceritakan perihal Bara dan mungkin tidak akan pernah ia ceritakan. Obrolan mereka begitu banyak dan terakhir yang mereka bahas adalah hal tentang Rio. Alletta memperhatikan ekspresi Hana yang tampak begitu merindukan Rio, matanya berbinar, dan ibunya tidak mengungkit hal buruk tentang ayahnya. Hal tersebut membuat Alletta mengerti bahwa ibunya masih mencintai Rio. Ia memang masih kecil untuk mengerti apa itu cinta, tetapi melihat ibunya yang masih mempertahankan Rio dengan alasan dirinya butuh ayah, tidak mungkin sampai tidak mau bercerai. Ia yakin ibunya mengerti bahwa hubungan anak dan ayah tidak akan berakhir meskipun orang tua si anak bercerai.

Alletta sengaja bangun pagi hari ini agar tidak bertemu Arkan. Ia akan menuju ke kamar mandi, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar seseorang berteriak. Ia yakin pasti itu suara Hana. Dengan langkah cepat, ia langsung berlari ke kamar Hana yang ada di sebelah kamarnya dengan langkah pincang. Namun, niatnya untuk melihat Hana urung karena namanya disebut ibunya yang tengah  bertelepon.

"Ki, kamu bilang Alletta bisa sembuh, kan? Kamu bilang satu operasi akan berhasil menyembuhkan dia. Lalu, kenapa sekarang berubah?" Alletta menutup pintunya kembali, tetapi tetap di luar pintu. Meskipun begitu, suara Hana tetap jelas terdengar.

"..."

"Dua persen? Bagaimana mungkin kemungkinan berhasil operasi hanya dua persen. Ki, bilang apa pun yang kamu katakan kali ini adalah bohong."

"..."

"Ki, aku cuma punya Alletta di hidupku."

"..."

"Mas Rio ke rumah sakit? Jadi obat yang diminum Alletta bukan dari kamu? Melainkan dari Mas Rio?"

"..."

"Mas Rio sudah punya wanita lain, lagi pula Alletta tidak suka sama dia."

"..."

"Sudahlah biarkan saja aku jadi janda. Aku tidak akan menikah lagi. Aku hanya meminta kamu mencari cara lain untuk kesembuhan Alletta."

"..."

"Obat itu lagi? Apa tidak ada yang lain? Dia baru berhenti minum obat itu hari ini. Keadaannya juga tampak tidak baik setelah minum obat itu."

"..."

"Aku tidak mau Alletta meregang nyawa karena operasi yang kemungkinan berhasilnya hanya dua persen. Apa obat itu bisa menyembuhkan dia?"

"..."

"Tidak akan sembuh? Maksudnya?"

"..."

"Hanya memperlambat penyebaran kanker berarti tetap Alletta akan ..."

"..."

"Apa maksudmu menyebar cepat? Alletta baik-baik aja. Ia tidak mengalami konflikasi apapun."

"..."

"Tiga bulan?"

Alletta yang tidak kuat mendengar semuanya, akhirnya ke kamar dan berpura-pura tidur. Haruskah ia menerima takdir yang begitu membabi butanya menyakitinya? Takdir nampak senang mempermainkan dirinya. Ingin ia marah, tetapi ia bingung kepada siapa harus ia lampiaskan amarah itu.

Matanya sengaja terpejam ketika Hana masuk ke kamarnya. Ia sudah bisa tebak kalau ini akan terjadi, ibunya pasti akan membangunkan dia untuk sekolah.

"Ta, Bangun waktunya sekolah," ucap Hana, mengguncang tubuh Alletta.

Alletta menggeliat layaknya orang yang bangun tidur. "Jam berapa sekarang, Bun?" tanya Alletta.

"Masih jam lima, tapi kamu harus siap-siap. Nanti disekolah jangan jajan karena Bunda udah bikinin bekal, jangan ikut upacara bendera, jangan terlalu lelah, kalau ada ulangan atau tugas minta bantuan sama Arkan biar kamu gak mikir keras, jangan lari-lari kalau naik tangga, terus kalau pusing langsung pulang atau ke rumah sakit aja, nan ..."

"Bunda ... Letta ngerti, kok." Alletta menyentuh lengan ibunya agar berhenti bicara.

Mata Hana sudah digenangi air mata membuatnya segera keluar dari kamar anaknya. Ia tidak suka menangis di hadapan Alletta karena Alletta pasti ikut menangis.

"Kenapa aku serapuh ini? Aku harusnya kuat mendukung anak gadisku menghadapi semuanya, tapi kenapa hatiku sakit hanya melihat tatapan matanya?" batin Hana.

💙💙💙💙💙
Happy reading guys
Mention for typo
To be continue

Rahasia Rasa (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang