RR 47

210 16 1
                                    

Berhari-hari Arkan menolak pulang ke rumah dengan alasan tidak ingin bolak-balik ke rumah sakit. Semula orang tuanya tidak menyetujui itu, tetapi Arkan terus saja memaksa hingga akhirnya ia diberi izin. Orang tua Arkan hanya menggelengkan kepalanya, mereka heran dengan Arkan yang jarang ada di kamarnya dan malah ada di kamar Alletta. Entah harus senang atau sedih, Lina dan Rifki tidak mengetahui itu, tetapi mereka tidak melarang anaknya bercengkerama dengan Alletta. Mereka malah begitu senang dan berharap bahwa ingatan anaknya segera kembali.

Hari ini Arkan kembali ke rutinitas setelah terapi, menemui Alletta. Ia masih penasaran dengan gadis yang selalu muncul di mimpinya itu. Meski merasa sedikit asing, tetapi perasaannya begitu terasa begitu dekat dengan gadis itu. Ia merasa bahagia hanya dengan menatap wajah gadis itu. Namun, hari ini ia sampai di ruangan Alletta dengan perasaan kaget. Sebuah ranjang berseprai biru yang biasa dipakai gadis berwajah pucat itu kosong. Arkan kembali ke ruangannya dengan wajah ditekuk. Tidak tahu kenapa, ia merasa lesu.

"Mungkin ia sudah pulang. Keadaan Alletta nampaknya jauh lebih baik. Lagi pula gadis itu hanya pucat dan tidak ada penyakit serius sepertiku yang lumpuh dan amnesia," batin Arkan.

Arkan mengingat hari-hari asing yang datang setelah ia sadar dari operasinya. Ia begitu takut melihat orang-orang yang mengaku mengenalnya. Ia bahkan tidak ingat apa yang terjadi padanya, ia marah pada dirinya saat itu, dan hal yang paling ia rasakan adalah sedih karena begitu asing dengan dunia. Sebulan penuh Arkan berada di rumah sakit, melakukan pengobatan dan kemoterapi, dan bercengkerama bersama Alletta. Namun, hari-hari itu menjadi begitu tidak berarti ketika Alletta tidak ada di ruangannya dan hari ini adalah hari keduanya tidak melihat gadis itu. Ada sedikit rindu menyusup dalam dadanya karena memikirkan gadis itu. Ia ingin sekali bertanya pada orang tuanya tentang keberadaan gadis itu, tetapi rasa malu membuatnya menutup mulut.

Ia sudah mengingat beberapa memori tentang dirinya. Apa lagi ia dibantu orang tua dan teman-temannya yang sering menjenguknya. Arkan terpaksa tidak sekolah karena ia tidak mau merepotkan orang lain dan ia juga belum mengingat beberapa hal. Ia selalu berusaha mengingat semuanya dan yang paling ingin ia ingat pertama kali adalah gadis bernama Alletta. Ia ingin tahu siapa gadis itu sebenarnya. Beberapa kali mengobrol dengan gadis itu, ia tidak pernah mendengar gadis itu mengungkit apa hubungan gadis itu dengannya. Ketika bertanya pun, gadis itu bilang kalau mereka hanya bersahabat, bahkan teman-temannya bilang Alletta berkata jujur. Hatinya terasa tidak rela dan tidak menerima ketika Alletta bilang mereka hanya sahabatan, terlebih pikirannya selalu saja mengacu kepada gadis itu. Ia yakin ada suatu hal yng tidak ingin Alletta ungkap dan teman-teman yang lainnya tahu. Ia bahkan berpikir mungkin saja dirinya dan Alletta melakukan pacaran sembunyi-sembunyi (Backstreet) atau mungkin mereka sudah menikah dini karena ia mengingat bayangan dirinya dan Alletta berada di sebuah ruangan yang sepertinya kamar. Ia sering tertawa sendiri memikirkan itu dan berkali-kali juga menyadarkan dirinya yang berpikiran yang macam-macam. Orang tuanya juga sama seperti yang lainnya, tidak mau memberi tahu seperti apa hubungan dirinya dengan Alletta.

Arkan mengambil ponsel yang diberikan orang tuanya. Ponsel itu tampak retak di bagian atasnya, tetapi masih bisa diyalakan. Ia menatap ponselnya dengan heran, ia sudah menekan beberapa digit angka yang mungkin menjadi kata sandi ponselnya, tetapi beberapa kali gagal. Ia juga heran kenapa ponsel ini tidak terbuka ketika diarahkan ke wajahnya padahal jelas-jelas ponsel ini juga memakai facelock. Ia berpikir mungkin ini bukan ponselnya.

"Hai, Nak! Kamu sedang apa?"

Arkan tersentak kaget dan mendongak ke arah wanita paruh baya yang berdiri di hadapannya. "Anda membuatku kaget," ujar Arkan.

"Ck, kau masih saja formal. Berhenti memanggilku dengan sebutan Anda. Panggil aku dengan sebutan Bunda seperti dulu," ucap Lina pada Arkan.

"Maaf, Bunda. Apakah And-- maksud say--"
Arkan menggelengkan kepalanya dan berucap, "Maaf, akan aku biasakan. Aku ingin bertanya, apakah ini benar ponselku?"

"Tentu saja itu ponselmu, itu ditemukan di mobilmu." Lina menimpali.

"Bukankah aku kecelakaan karena aku tengah bertelepon?"

"Ya, nampaknya begitu. Polisi bilang ada earphone di telingamu ketika mereka menemukanmu saat kecelakaan," ucap Hana sambil duduk di sofa.

Arkan menatap ponselnya dan bertanya, "Apa Bunda tahu kata sandi ponsel ini?"

"Mungkin tanggal lahirmu, dua puluh delapan Maret." Arkan menekan digit nomor yang disebutkan Lina dan menggeleng sebagai tanda bahwa nomor itu salah.

"2002?"

"Salah. Mungkin ini bukan ponselku, Bun. Lagi pula walpaper ponsel ini seperti seorang wanita," ucap Arkan menghidupkan layar ponsel yang menunjukan gambah seorang gadis yang memakai jaket menutupi wajahnya.

"Nah itu dia! Pasti sebelas April, coba dulu!" pinta Lina bersemangat.

Arkan menekan nomor yang disebutkan Lina dan benar saja ponsel itu terbuka dengan sendirinya. Ia menatap Lina yang tersenyum padanya. Ia ingin bertanya ada apa dengan tanggal itu, tetapi Lina sudah berkata duluan.

"Itu tanggal lahir Alletta," ucap Lina.

"Kenapa semua hal selalu berhubungan dengan gadis itu? Apa dia begitu penting bagiku? Apa sem--"

Arkan menghentikan perkataannya ketika melihat Lina yang sudah berkaca-kaca. Ia hanya bergeming dan memikirkan perkataanya. "Maaf, aku tidak maksud berteriak. Aku hanya tidak ingin seperi orang bodoh yang tidak mengerti apa pun seperti ini," ucap Arkan sambil menunduk menatap ponselnya.

"Nak, Alletta itu segalanya bagimu bahkan kamu sering melakukan hal-hal karena Alletta. Kamu selalu menjaga dia dan melindungi dia dari bahaya apa pun. Dulu, kami pikir kamu menganggap dia hanya adikmu, tetapi melihat kedekatan kalian dan pernyataanmu saat ulang tahun Alletta membuat kami kaget," ucap Lina.

"Apa yang kukatakan?"

"Kamu bilang ingin bertunangan denganya saat itu."

Telinga Arkan memerah karena rasa malu di hatinya dan ia berpikir bahwa ia pasti sudah gila karena yang ia tahu ia masih kelas sebelas dan berani-beraninya melamar anak gadis orang.

"Hana mengizinkanmu bertunangan dengan Alletta ketika kalian lulus nanti," lanjut Lina dengan tangisnya.

"Apa itu menyakitimu hingga kau menangis?" tanya Arkan sambil melihat Lina yang menangis.

"Tidak! Kami bahagia dengan itu, tapi mungkin takdir tidak mengizinkan kalian bersatu," ucap Lina tersedu.

Arkan merasakan sedih luar biasa mendengar perkataan Lina bahwa dirinya dan Alletta tidak bisa bersatu. Dengan nada pelan, Arkan bertanya, "Apa ada masalah?"

"Alletta hanya memiliki ... dia hanya punya ... sepuluh persen untuk hidup," ucap Lina membuat Arkan menatapnya tak percaya.

Air matanya menetes dan bagai sebuah diperintahkan, bayangan-bayangan muncul di pikirannya. Ia memegang kepalanya dan berteriak kencang. Ia ingin mengingat semuanya. Ia akan memaksakan ingatannya kembali dan ia harus mengingat gadis itu sebelum gadis itu meninggal. Ia tidak tahu perasaan apa yang menghampirinya, tetapi sakit di hatinya mengetahui Alletta hanya memiliki sedikit harapan hidup lebih besar dari pada sakit di kepalanya saat ini. Ia bahkan seperti dipukul palu berkali-kali di daerah dada dan kepalanya.

💙💙💙💙💙
Happy reading
Mention for typo
To be continue

Rahasia Rasa (COMPLETE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang