"Jae...Appa hitung 1 sampai 3 cepat bangun!" Ujar Park Jimin. Laki-laki yang berusia 36 tahun itu mengenakan pakaian rapih. Setelan jas berwarna hitam melingkar ditubuhnya dengan pas. Ditatapnya anak laki-lakinya dari ambang pintu. Masih tidur dibawah selimut hangat."Hmmm. Arraseo." Ujarnya dengan suara parau. Saat ini anak laki-laki itu sudah tidak lagi setinggi pinggang Park Jimin. Tapi sudah sebahunya. Mungkin nanti akan terus bertambah tinggi seiring pertambahan usia.
Jaehwa membuka mata. Ia lalu bergegas turun dari kasur dan segera menyerobot handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi.
Setelah menyaksikan dengan dua matanya bahwa anaknya sedang bersiap. Park Jimin lalu pergi ke dapur.
Menyeduh secangkir kopi dan membuat roti bakar sederhana.
Ia duduk di meja makan itu, sambil sesekali mengecek ponsel. Membaca beberapa berita penting sekilas yang terjadi di Korea Selatan ataupun dunia.
Jaehwa menghampiri Jimin. Ia sudah rapih saat ini, lalu duduk di dekat Jimin, menarik kursi pelan.
"Makan dulu, sarapan." Titah Jimin. Jae mengangguk lalu menaruh selai di atas roti.
Usia anak laki-laki itu sudah 13 tahun. Dan tahun ini menginjak jenjang Sekolah Menengah Pertama.
"Hari ini ada acara apa sih Appa?" Tanya Jae. Ia mengintip wajah Park Jimin dari balik cangkir ketika berbicara sambil meneguk teh hangat.
"Lihat tanggal."
Jae mengelurkan ponsel, hari ini tanggal 12 July.
"Ya ampun, aku tidak mengingatnya. Appa, mian."
"Ya Tuhan Maaf."
"Maafkan Jae ya Tuhan. Maaf."Jae lalu menyelesaikan makannya begitu juga dengan Park Jimin.
Ketika itu Park Jimin langsung bergegas keluar. Diikuti dengan Jae yang segera duduk di kursi depan lalu mengunci tubuhnya dengan seatbelt.
"Bagaimana di sekolah?" Tanya Jimin ketika mereka keluar dari garasi rumah.
"Aku belum punya teman." Ujar Jae. Jimin menoleh, lalu mengusap kepala anaknya itu dan memberikan senyuman. Memang, baru satu minggu Jae masuk ke sekolah baru dan ya wajar saja jika belum memiliki teman yang cocok.
"Nanti juga punya."
"Apapun yang terjadi di sekolah, jangan pernah menjadi siswa sampah.""Siswa sampah?"
"Hmm, pokoknya tugasmu disekolah adalah belajar dan mencari teman."
"Yang kuat bantu yang lemah. Jangan merasa kau lebih daripada yang lain lalu terjadi pembullyan.""Iyaa."
"Kalau ada apa-apa cerita sama Appa, oke?"
"Oke!!"
Park Jimin mampir disebuah toko bunga. Turun sebentar, lalu kembali lagi dengan membawa bunga yang biasa ia beli 2 tahun terakhir.
"Cepat sekali?"
"Penjualnya sudah hafal." Ucap Jimin, lalu kembali melajukan mobilnya.
Jae menatap buket bunga itu. Menciumnya dengan dalam, lalu aroma wangi bunga lily putih, sedap malam, dan mawar menjadi satu memenuhi paru-parunya.
Pandangnya ke arah buket bunga, beralih ke arah Jimin lalu ke arah jendela.
Sudah tepat 2 tahun berlalu, tapi anak laki-laki itu pada suatu titik selalu merindukan Eommanya. Setiap hari tanpa terkecuali.
Jae menangis dalam diam. Sambil menatap jendela mobil, ke arah luar.
"Appa."
"Hmm, kau taruh bunga itu." Jae menaruh buket bunga di atas makam lalu kembali berdiri disamping Park Jimin. Tangan Park Jimin merangkul bahu anaknya kuat-kuat, dan menepuknya perlahan. Hal itu, malah membuat tangis anak laki-lakinya pecah.
KAMU SEDANG MEMBACA
LOVER [complete]
FanfictionSatu kesalahan malam itu, membuat deretan masalah baru di hidup Kang Seulgi. "Apa aku mati saja?" "Dasar gila." "Jangan pernah kesini lagi." Warning ⛔️ 18+ mohon untuk bijak dalam memilih cerita.